welcome to my Umpung

silakan di lihat-lihat... yang bermamfaat silakan di ambil, dan yang tidak bermamfaat mohon di tinggal. teurimong gaseh..

Rabu, 25 April 2012

Tentang agama dan masyarakat


I. Definisi Agama
Dengan singkat definisi agama menurut sosiologi adalah definisi yang empiris. Sosiologi tidak pernah memberikan definisi agama yang evaluative (menilai). Sosiologi angkat tangan mengenai hakikat agama, baiknya atau buruknya agama atau agama–agama yang tengah diamatinya. Dari pengamatan ini sosiologi hanya sanggup memberikan definisi deskriptif (menggambarkan apa adanya) yang mengungkapkan apa yang dimengerti dan dialami pemeluk-pemeluknya.
Definisi agama menurut Durkheim adalah suatu “sistem kepercayaan dan praktek yang telah dipersatukan yang berkaitan dengan hal-hal yang kudus kepercayaan-kepercayaan dan praktek-praktek yang bersatu menjadi suatu komunitas moral yang tunggal.” Dari definisi ini ada dua unsur yang penting, yang menjadi syarat sesuatu dapat disebut agama, yaitu “sifat kudus” dari agama dan “praktek-praktek ritual” dari agama. Agama tidak harus melibatkan adanya konsep mengenai suatu mahluk supranatural, tetapi agama tidak dapat melepaskan kedua unsur di atas, karena ia akan menjadi bukan agama lagi, ketika salah satu unsur tersebut terlepas. Di sini terlihat bahwa sesuatu dapat disebut agama bukan dilihat dari substansi isinya tetapi dari bentuknya, yang melibatkan dua ciri tersebut.
Sedangkan menurut pendapat Hendro puspito, agama adalah suatu jenis sosial yang dibuat oleh penganut-penganutnya yang berproses pada kekuatan-kekuatan non-empiris yang dipercayainya dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka dan masyarakat luas umumya. Dalam kamus sosiologi, pengertian agama ada 3 macam yaitu:
1.      Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual
2.      Perangkat kepercayaan dan praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri
3.      Ideologi mengenai hal-hal yang bersifat supranatural
II. Ruang Lingkup Agama
Secara garis besar ruang lingkup agama mencakup :
a.       Hubungan manusia dengan tuhannya
Hubungan dengan tuhan disebut ibadah. Ibadah bertujuan untuk mendekatkan diri manusia kepada tuhannya.
b.      Hubungan manusia dengan manusia
Agama memiliki konsep-konsep dasar mengenai kekeluargaan dan kemasyarakatan. Konsep dasar tersebut memberikan gambaran tentang ajaran-ajaran agama mengenai hubungan manusia dengan manusia atau disebut pula sebagai ajaran kemasyarakatan. Sebagai contoh setiap ajaran agama mengajarkan tolong-menolong terhadap sesama manusia.
c.       Hubungan manusia dengan makhluk lainnya atau lingkungannya.
Di setiap ajaran agama diajarkan bahwa manusia selalu menjaga keharmonisan antara makluk hidup dengan lingkungan sekitar supaya manusia dapat melanjutkan kehidupannya.
III. Fungsi dan Peran Agama Dalam Masyarakat
Dalam hal fungsi, masyarakat dan agama itu berperan dalam mengatasi persoalan-persoalan yang timbul di masyarakat yang tidak dapat   dipecahakan   secara   empiris   karena   adanya   keterbatasan kemampuan dan ketidakpastian. Oleh karena itu, diharapkan agama menjalankan   fungsinya   sehingga   masyarakat   merasa   sejahtera, aman, stabil, dan sebagainya. Agama dalam masyarakat bisa difungsikan sebagai berikut :
a.       Fungsi edukatif.
Agama memberikan bimbingan dan pengajaaran dengan perantara petugas-petugasnya (fungsionaris) seperti syaman, dukun, nabi, kiai, pendeta imam, guru agama dan lainnya, baik dalam upacara (perayaan) keagamaan, khotbah, renungan (meditasi) pendalaman rohani, dsb.
b.      Fungsi penyelamatan.
Bahwa setiap manusia menginginkan keselamatan baik dalam hidup sekarang ini maupun sesudah mati. Jaminan keselamatan ini hanya bisa mereka temukan dalam agama. Agama membantu manusia untuk mengenal sesuatu “yang sakral” dan “makhluk teringgi” atau Tuhan dan berkomunikasi dengan-Nya. Sehingga dalam yang hubungan ini manusia percaya dapat memperoleh apa yang ia inginkan. Agama sanggup mendamaikan kembali manusia yang salah dengan Tuhan dengan jalan pengampunan dan Penyucian batin.
c.       Fungsi pengawasan sosial (social control)
Fungsi agama sebagai kontrol sosial yaitu :
·         Agama meneguhkan kaidah-kaidah susila dari adat yang dipandang baik bagi kehidupan moral warga masyarakat.
·         Agama mengamankan dan melestarikan kaidah-kaidah moral ( yang dianggap baik )dari serbuan destruktif dari agama baru dan dari system hokum Negara modern.
d.      Fungsi memupuk Persaudaraan.
Kesatuan persaudaraan berdasarkan kesatuan sosiologis ialah kesatuan manusia-manusia yang didirikan atas unsur kesamaan.
·         Kesatuan persaudaraan berdasarkan ideologi yang sama, seperti liberalism, komunisme, dan sosialisme.
·         Kesatuan persaudaraan berdasarkan sistem politik yang sama. Bangsa-bangsa bergabung dalam sistem kenegaraan besar, seperti NATO, ASEAN dll.
·         Kesatuan persaudaraan atas dasar se-iman, merupakan kesatuan tertinggi karena dalam persatuan ini manusia bukan hanya melibatkan sebagian dari dirinya saja melainkan seluruh pribadinya dilibatkan dalam satu intimitas yang terdalam dengan sesuatu yang tertinggi yang dipercayai bersama
e.       Fungsi transformatif.
Fungsi transformatif disini diartikan dengan mengubah bentuk kehidupan baru atau mengganti nilai-nilai lama dengan menanamkan nilai-nilai baru yang lebih bermanfaat.
Sedangkan  menurut   Thomas   F.  O’Dea  menuliskan   enam  fungsi agama dan masyarakat yaitu:
1.      Sebagai pendukung, pelipur lara, dan perekonsiliasi.
2.      Sarana hubungan  transendental  melalui  pemujaan dan upacara
Ibadat.
3.      Penguat norma-norma dan nilai-nilai yang sudah ada.
4.      Pengoreksi fungsi yang sudah ada.
5.      Pemberi identitas diri.
6.      Pendewasaan agama.
Sedangkan menurut  Hendropuspito  lebih ringkas  lagi,  akan tetapi   intinya   hampir   sama.   Menurutnya   fungsi   agama   dan masyarakat   itu   adalah   edukatif,   penyelamat,   pengawasan   sosial, memupuk persaudaraan, dan transformatif.
Agama memiliki peranan yang sangat penting dalam kehidupan manusia dan
masyarakat, karena agama memberikan sebuah system nilai yang memiliki derivasi
pada norma-norma masyarakat untuk memberikan pengabsahan dan pembenaran dalam
mengatur pola perilaku manusia, baik di level individu dan masyarakat. Agama
menjadi sebuah pedoman hidup singkatnya. Dalam memandang nilai, dapat kita lihat dari dua sudut pandang. Pertama, nilai  agama dilihat dari sudut intelektual yang menjadikan nilai agama sebagai norma  atau prinsip. Kedua, nilai agama dirasakan di sudut pandang emosional yang menyebabkan adanya sebuah dorongan rasa dalam diri yang disebut mistisme.
IV. Pengaruh Agama Terhadap Kehidupan Manusia
Sebagaimana telah dijelaskan dari pemaparan diatas, jasa terbesar agama adalah mengarahkan perhatian manusia kepada masalah yang penting yang selalu menggoda manusia yaitu masalah “arti dan makna”. Manusia membutuhkan bukan saja pengaturan emosi, tetapi juga kepastian kognitif tentang perkara-perkara seperti kesusilaan, disiplin, penderitaan, kematian, nasib terakhir. Terhadap persoalan tersebut agama menunjukan kepada manusia jalan dan arah kemana manusia dapat mencari jawabannya. Dan jawaban tersebut hanya dapat diperoleh  jika manusia beserta masyarakatnya mau menerima suatu yang ditunjuk sebagai “sumber” dan “terminal terakhir” dari segala kejadian yang ada di dunia. Terminal terakhir ini berada dalam dunia supra-empiris yang tidak dapat dijangkau tenaga indrawi maupun otak manusiawi, sehingga tidak dapat dibuktikan secara rasional, malainkan harus diterima sebagai kebenaran. Agama juga telah meningkatkan kesadaran yang hidup dalam diri manusia akan kondisi eksistensinya yang berupa ketidakpastian dan ketidakmampuan untuk menjawab problem hidup manusia yang berat.
Para ahli kebuadayaan yang telah mengadakan pengamatan mengenai aneka kebudayaan berbagai bangsa sampai pada kesimpulan, bahwa agama merupakan unsur inti yang paling mendasar dari kebudayaan manusia, baik ditinjau dari segi positif maupun negatif. Masyarakat adalah suatu fenomena sosial yang terkena arus perubahan terus-menerus yang dapat dibagi dalam dua kategori : kekuatan batin (rohani) dan kekuatan lahir (jasmani). Contoh perubahan yang disebabkan kekuatan lahir ialah perkembangan teknologi yang dibuat oleh manusia. Sedangkan contoh perubahan yang disebabkan oleh kekuatan batin adalah demokrasi, reformasi, dan agama. Dari analisis komparatif ternyata bahwa agama dan nilai-nilai keagamaan merupakan kekuatan pengubah yang terkuat dari semua kebudayaan, agama dapat menjadi inisiator ataupun promotor, tetapi juga sebagai alat penentang yang gigih sesuai dengan kedudukan agama.
Secara sosiologis, pengaruh agama bisa dilihat dari dua sisi, yaitu pengaruh yang bersifat positif atau pengaruh yang menyatukan (integrative factor) dan pengaruh yang bersifat negatif atau pengaruh yang bersifat destruktif dan memecah-belah (desintegrative factor).
Pembahasan tentang fungsi agama disini akan dibatasi pada dua hal yaitu agama sebagai faktor integratif dan sekaligus disintegratif bagi masyarakat, pengaruh yang bersifat integratif.
 Peranan sosial agama sebagai faktor integratif bagi masyarakat berarti peran agama dalam menciptakan suatu ikatan bersama, baik diantara anggota-anggota beberapa masyarakat maupun dalam kewajiban-kewajiban sosial yang membantu mempersatukan mereka. Hal ini dikarenakan nilai-nilai yang mendasari sistem-sistem kewajiban sosial didukung bersama oleh kelompok-kelompok keagamaan sehingga agama menjamin adanya konsensus dalam masyarakat. Fungsi Disintegratif Agama adalah, meskipun agama memiliki peranan sebagai kekuatan yang mempersatukan, mengikat, dan memelihara eksistensi suatu masyarakat, pada saat yang sama agama juga dapat memainkan peranan sebagai kekuatan yang mencerai-beraikan, memecah-belah bahkan menghancurkan eksistensi suatu masyarakat. Hal ini merupakan konsekuensi dari begitu kuatnya agama dalam mengikat kelompok pemeluknya sendiri sehingga seringkali mengabaikan bahkan menyalahkan eksistensi pemeluk agama lain
V. Pengaruh Agama Terhadap Stratifikasi Sosial
Didalam ajaran sosiologi kita mengenal pengertian stratifikasi sosial yang mempunyai pengertian yaitu, susunan berbagai kedudukan sosial menurut tinggi rendahnya dalam masyarakat. Seorang pengamat menggambarkan masyarakat sebagai suatu tanda yang berdiri yang mempunyai anak tanggga-anak tangga dari bawah keatas. Stratifikasi sosial itu tidak sama antara masyarakat satu dengan yang lain karena setiap masyarakat mempunyai stratifikasi sosialnya sendiri . Jika jarak antara tangga yang satu dengan anak tangga yang ada diatasnya ditarik horizontal, maka terdapat suatu ruang. Ruang itu disebut lapisan sosial. Jadi lapisan sosial adalah keseluruhan orang yang berkedudukan lapisan sosial setingkat . Contoh pengaruh agama terhadap stratifikasi pada golongan petani, sikap mental golongan petani terbentuk oleh situasi dan kondisi dimana mereka hidup, yang antara lain adalah faktor klimatologis dan hidrologis seperti musim dingin dan musim panas, yang sejalan dengan musim kering dan musim penghujan. Golongan petani selalu bergumul dengan pemainan hukum alam (pertanian). Hukum cocok tanam kadang sulit diperhitungkan secara cermat selalu bersandar pada kedermawanan alam yang datang lambat & tidak menentu. Maka kaum petani lebih cenderung untuk mendayagunakan kekuatan-kekuatan magis (supra-empiris) guna membantu mereka dalam menentukan hari yang tepat. Semangat religius golongan petani itu terlihat dari pengadaan sejumlah pesta pertanian pada peristiwa penting, misalnya kaum petani di Indonesia mengadakan selamatan pada saat menanam benih dan waktu panen, sampai sekarang ini banyak petani di Indonesia masih mengadakan ritual tersebut.
VI. KELESTARIAN AGAMA DALAM MASYARAKAT
Seiring berkembangnya ilmu pengetahuan, kemudian lahir pemikiran-pemikiran yang berlandaskan pada pemikiran sekuler seperti pemikiran Max Weber yang mengatakan bahwa pada masyarakat modern agama akan lenyap karena pada masyarakat modern dikuasai oleh teknologi dan birokrasi. Tetapi pemikiran tersebut itu belum terbukti dalam kurun waktu terkhir ini. Sebagai contoh yang terjadi di negara-negara komunis seperti Rusia, RRC, Vietnam yang menerapkan penghapusan agama karena tidak sesuai dengan ideologi negara tersebut, tetapi beberapa orang berhasil mempertahankan agama tersebut, bahkan umat beragama semakin meningkat. Dengan mengirasionalkan agama bahwa agama adalah sesuatu yang salah dalam pemikiran, tetapi dengan sendirinya umat beragama dapat berpikir dan mengetahui apa yang dipikirkan mengenai agama. Sehingga umat beragama dapat memahami apa arti sebuah agama dam manfaatnya.
Karena semakin berkembangnya ilmu pengetahuan yang demikian dinamis, teori-teori lama kemudian mengalami penyempurnaan dan revisi. Bukan pada tempatnya membandingkan kebenaran ilmu pengetahuan dengan kebenaran yang diperoleh dari informasi agama. Pemeluk agama meyakini kebenaran agama sebagai kebenaran yang bersifat kekal, sementara kebenaran ilmu pengetahuan bersifat dinamis sesuai dengan perkembangan kemampuan pola pikir manusia. Ilmu pengetahuan sendiri sebenarnya bisa menjadi bagian dari penafsiran nilai-nilai agama. Sepertia yang dikatakan David Tracy bahwa ilmu pengetahuan itu mengandung dimensi religious, karena untuk dapat dipahami, dan diterima diperlukan keterlibatan diri dengan soal Ketuhanan dan agama.
Referensi
Sosiologi Agama, Drs. D. Hendropuspito, O. C.
Agama Dan Masyarakat, Elizabeth K Nottingham.

Antara Al Ghazali VS Ibnu Rusyd (Problem Ketuhanan dan Alam Semesta)


Diantara banyaknya perdebatan filsafat yang rumit dan radikal, terdapat hal yang sangat menarik dan menjadi perhatian banyak kalangan akademisi juga para pecinta filsafat. Hal tersebut adalah perang argument antara Al Ghazali versus Ibnu Rusyd. Perang argument filosofis antara Al Ghazali versus Ibnu Rusyd yang paling menonjol adalah mengenai problem ketuhanan dan alam semesta. Keduannya mempunyai pandangan yang berbeda dalam menginterpretasi teks Al Qur’an secara filosofis. Menariknya, keduanya sama-sama dari kalangan muslim, akan tetapi argument-argument diantara keduanya mengundang kontrovesi yang sangat mendasar, baik bagi kalangan umat muslim sendiri maupun bagi kalangan non-muslim (baca : dunia barat).
Perdebatan mengenai persoalan ketuhanan dan alam semesta dalam filsafat Islam, dapat ditemukan dalam aliran pemikiran Tasawuf dan Falasifa (filsafat dalam Islam). Berdebatan ini adalah antara Al Ghazali dengan kritiknyaTahafutul Falasifa (Incoherence of the Philosophers) dengan Ibnu Rusyd dalam karyanya Tahafutul Tahafut(Incoherence of the Incoherence). Perdebatan ini dimulai ketika Al Ghozali mulai mengkritisi para filsuf-filsuf muslim sebelumnya, yaitu Al Farabi dan Ibnu Sina yang pemikirannya berbau Aristotelian. Secara intensif Al Ghozali mengkritisi tentang problem ketuhanan dan alam semesta yang telah dipikikan secara metafisis spekulatif oleh para filsuf. Menurut Al Ghazali, hal ini tidak sesuai dengan ajaran Al Qur’an dan Al Hadits yang merupakan sumber kebenaran mutlak kaum muslimin. Kemudian, timbullah respond dan sanggahan dari Ibnu Rusyd terhadap pemikiran Al Ghazali. Perdebatan antara keduanya akan saya coba jabarkan dalam makalah ini.
PERSOALAN KETUHANAN DAN ALAM SEMESTA
PERDEBATAN ANTARA AL GHAZALI VERSUS IBNU RUSYD
A. Abu Hamid Al Ghazali
Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al Thusi Al Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H/1058 M di Thus, sebuah daerah dekat Masyhad, di Khurasan (Iran). Al Ghazali wafat pada tahun 505 H/1111 M. Nama Al Ghazali diambil dari kata ‘Ghazalah’ nama sebuah kampung, dimana Al Ghazali dilahirkan.
Kota Thus adalah tempat Al Ghazali menerima pendidikan awalnya. Tidak lama sebelum meninggal, ayahnya mempercayakan pendidikan Al Ghazali dan adik laki-lakinya Ahmad (1126 M) kepada seorang sufi yang saleh. Al Ghazali dididik untuk dapat mempelajari Al Quran dan Al Hadis, mendengarkan kisah tentang ahli hikmah, juga menghafal puisi cinta mistis. Setelah dana pendidikannya habis, ia dikirim ke sebuah madrasah, dimana disanalah ia pertama kali mulai mempelajari fikih dari Ahmad Al Raskani.
Al Ghazali pergi ke Jurjan di Mazardaran untuk melanjutkan studinya dibidang fikih di bawah bimbingan Abu Nashr Al Isma’ili pada usianya yang masih dini, yakni sebelum lima belas tahun. Pada usia tujuh belas tahun, ia kembali ke Thus. Sebelum ulang tahunnya ke dua puluh, Al Ghazali berangkat ke Naisyapur (Naizabur) untuk belajar fikih dan kalam di bawah didikan Al Juwaini. Al Ghazali diangkat sebagai asisten pengajar Al Juwaini dan terus mengajar pada madrasah Nizamiyah di Nizabur hingga Al Juwaini meninggal tahun 478 H/1085 M.
Al Ghazali mempunyai nama yang harum dalam Islam. Ia adalah seorang yang termahsur sebagai pengarang, sebagai sufi dan sebagai Shaykh Madrasah Al Nizamiah. Al Ghazali menyusun banyak buku untuk membersihkan ilmu-ilmu agama Islam dari kesesatan. Karena jasanya itu, ia dinobatkan sebagai seorang muslim terbesar sesudah Nabi Muhammad SAW. Dibalik nama harumnya dikalangan umat muslim, terdapat fakta lain, bahwa Al Ghazali juga di klaim sebagai penentang dan penghancur pemikiran filsafat, baik filsafat dalam Islam sendiri, maupun filsafat di dunia barat.
Al Ghazali adalah orang yang berkebangsaan Persia. Ia sempat mengalami krisis keimanan dan kemudian mampu menempuh hidup sufi selama 10 tahun. Krisis keimanan yang dialaminya dipaparkannya sendiri melalui sebuah otobiografi yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dimana dalam buku itu ia mengkritik 4 aliran dalam alam pikiran Islam pada masa itu, yaitu aliran isma’illi atau batiniah, madzhab para mutakalimun, tarikat tassawuf dan terutama falsafah hellenisme.
Pertama, Al Ghazali menulis buku berjudul Al Maqasid Al filasifah, kemudian ia melengkapinya dengan menulis buku keduanya yang berjudul Tahafutul Falasifa (ketidakberesan, kekaburan dari filsafat, yang lazimnya diterjemahkan dengan penghancuran filsafat). Kitab Tahafut terdiri dari 20 diskusi yang merupakan sistematisasi dari ajaran falsafah yang berbentuk semacam dialog tertulis diikuti bantahan-bantahan. Dari 20 dalil filsafat yang ditegurnya, hanya 4 yang disebutnya secara langsung sebagai kufurat dan subversif terhadap iman Iislam yang sejati yaitu dalil 1, 13, 18, 20. Isinya adalah sebagai berikut :
1. Dalil falsafah yang menyatakan bahwa dunia (alam) berfisat azali dan sama abadinya dengan Tuhan, juga termasuk hasil emanasi, semuanya wajib mengandung kufurat.
2. Dalil falsafah bahwa Tuhan tidak tahu hal-hal yang bersifat khusus (partikular), tetapi hanya mengetahui dunia (alam) dari aspek umum (universal), bertentangan dengan ajaran Al Quran : “Tiada yang luput bagi pengetahuan Ilahi” dan merupakan suatu kufurat.
3. Dalil bahwa tidak semua jiwa manusia sesudah maut (kematiannya) masuk taraf hidup baru (Farabi, Razi) menyimpang dari konsep keimanan Islam, dengan kata lain masih dalam tataran kufurat. Bila mereka membuktikan dengan akal bahwa jiwa tidak bisa hancur, bukti mereka batal, karena hal tersebut hanya dapat diketahui melalui informasi wahyu Tuhan.
4. Penolakan kenikmatan badaniyah kelak dalam akhirat, dan penggantiannya dengan kebahagiaan rohani semata-mata, adalah argument yang melwan wahyu Al Qur’an. Yang dimaksud dengan penolakan tersebut juga merupakan dosa kufur.
Al Ghazali kembali mengkoreksi kepada faham yang lebih umum. Selanjutnya dia mengkritik sejumlah dalil-dalil lain bukan sebagai suatu kekufuran, melainkan sebagai suatu bid’ah dan tidak logis. Dalam diskusi enam, Al Ghozali melawan ajaran ta’til dari mutazilah dan falsafah yang meniadakan adanya sifat-sifat nyata pada Tuhan. Al Ghozali juga menulis dalam beberapa argumen lain dengan memperbincangkan bukti tentang keberadaan Tuhan, keesaan Tuhan, pengetahuan Tuhan, penciptaan dan persoalan mengenai jiwa manusia.
Al Ghazali mengkritik filsafat yang semata-mata mempergunakan akal dalam memahami persoalan ketuhanan. Menurutnya, hal tersebut seperti mempergunakan suatu alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Salah satu kritiknya berisi: “Apa yang mereka sebutkan itu adalah buatan mereka sendiri, bahkan pada hakikatnya merupakan kegelapan diatas kegelapan. Pernyataan mereka itu sama seperti ucapan orang yang sedang tidur dan bermimpi lalu mengeluarkan kata-kata yang dapat dikirakan berasal daripada orang-orang yang berubah akalnya”. Al Ghazali mengkhawatirkan pemikiran Al Farabi dan Ibnu Sina merusak keimanan umat Islam yang umumnya kurang kritis, terutama tentang permasalahan yang terkait dengan problem ketuhanan dan alam semesta.
Al Ghazali juga menentang pernyataan yang lahir dari filsafat Aristotelian bahwa alam adalah kekal. Menurutnya, alam berasal dari ketiadaan menjadi “ada” karena ciptaan Tuhan. Dunia berasal dari iradat (kemauan) Tuhan semata-mata dan tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat Tuhan bersifat mutlak dan terlepas dari ruang dan waktu, namun ciptaan Tuhan (dalam hal ini dunia/alam) dapat ditangkap oleh akal manusia, karena dunia terbatas dalam ruang dan waktu. Tuhan bersifat transenden, namun kemauan (iradat) Tuhan adalah immanent dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
B. Abu Ya’la Al Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Ibnu Rusyd
Dikalangan filsafat barat, Ibnu Rusyd lebih dikenal dengan sebutan Averroes. Nama lengkapnya adalah Abu Ya’la Al Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad Ibnu Rusyd (1126-1198). Ia lahir di Cordova, Andalusia. Kakeknya adalah seorang ahli fiqih dan ilmu hukum terkenal yang menjabat sebagai imam besar di Masjid Jami’ Cordova, kemudian diangkat menjadi qadi atau hakim agung. Setelah sepeninggalan akakeknya, jabatan hakim agung ini diteruskan oleh puteranya, ayah dari Ibnu Rusyd.
Ibnu Rusyd terlahir dari keluarga ahli fiqih dan hakim. Tidak mengherankan jika salah satu karyanya,Bidayat Al Mujtahid wa Nihayat Al Muqtasid, menjadi salah satu karya terkemuka dalam bidang. Buku ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya diuraikan pendapat Ibnu Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat para imam fiqih.
Selain pandai dalam hal hukum dan ilmu fiqih, ia juga merupakan seorang dokter dan astronom. Tetapi, provesii ini kurang terkenal dibandingkan dengan reputasinya sebagai filsuf. Ia dianggap sebagai salah satu dokter terbesar di zamannya. Menurut Sarton, ia adalah orang pertama yang menerangkan fungsi retina dan orang pertama yang menjelaskan bahwa serangan cacar pertama akan membuat kekebalan berikutnya pada orang yang bersangkutan.
Sebagai seorang pemikir besar muslim, ia mempunyai gagasan-gagasan filosofis mengenai problem ketuhanan dan alam semesta. Pemikirang Ibnu Rusyd ini, nantinya akan memberikan kontribusi besar terhadap perkembangan filsafat, terutama di dunia barat, yang kemudian direinterpretasi oleh filsuf barat hingga melahirkan renaisans dan zaman modern. Berikut akan saya coba uraikan pemikiran Ibnu Rusyd mengenai problem ketuhanan dan alam semesta.
1. Pengetahuan Tuhan
Pertanyaan Pertama : Apakah Tuhan mengetahui segala perincian juziyat?
Dalam usaha menjawab pertanyaan ini Ibnu Rusyd mengemukakan pendapat Aristoteles yang telah disetujuinya. Aristoteles berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui persoalah juziyat (hal-hal partikular). Tuhan ibarat seorang kepala negara yang tidak mengetahui persoalan-persoalan kecil didaerahnya.
Pendapat Aristoteles itu disetujuinya dengan didasarkan atas argumen sebagai berikut :
Yang menggerakkan itu yakni Tuhan Al Muharrik. Tuhan itu merupakan akal yang murni bahkan merupakan akal yang setinggi-tingginya. Karena itu pengetahuan dari akal yang tertinggi itu haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena itu pula tidak mungkin Tuhan itu mengetahui selain daripada zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada zat lain yang sama luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang diketahui Tuhan itu menjadi sebab untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi kalau Tuhan mengetahui pula hal-hal yang kecil-kecil (juzilat/partikular), maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu disebabkan hal hal yang kurang sempurna daripadaNya. Ini adalah tidak wajar. Maka sudah seharusnya kalau Tuhan tidak mengetahui selain dari zat-Nya sendiri. Aristoteles menggambarkan Tuhan sebagai kehidupan yang abadi, sempurna dari segala jurusan dan sudah puas dengan kesempurnaan zat-Nya sendiri.
Maksud pemikiran Ibnu Rusyd adalah, Tuhan itu hruslah berupa suatu akal yang tertinggi. Penciptaan haruslah berawal dari akal pertama, yang memerintahkan akal kedua untuk mencipta, dan seterusnya hingga akal kesepuluh. Yang dimaksud Tuhan hanya mengetahui secara universal dan tidak mengetahui masalah juziyat atau hal-hal partikular adalah, bahwa Tuhan itu adalah yang Maha Tahu. Artinya, haruslah Ia sudah mengetahui segala perincian dari awal, ketika Ia menciptakan alam. Jadi kalau Tuhan mengetahui hal-hal partikular, maka Ia tidak layak disebut Tuhan, karena pengetahuan partikular adalah pengetahuan yang didapat dari proses ‘tidak tahu menjadi tahu’. Kalau Tuhan itu mengetahui secara partikular, berarti sebelumnya Tuhan ‘tidak mengetahui’ hal partikular tersebut, kemudian setelah hal-hal partikular terjadi, barulah Tuhan tahu. Jika akal Tuhan bergerak dari ‘tidak tahu menjadi tahu’, maka Ia tidak layak disebut Tuhan. Menurut Ibnu Rusyd, Tuhan haruslah sudah mengetahui segala bentuk perincian (yang partikular) dari awal penciptaannya secara universal.
Ibnu Rusyd menyetujui argumen Aristoteles dan Ibnu Sina, tetapi Al Ghazali membantah keras argumen tersebut. Ibn Rusyd menentang Al Ghazali dan tetap membela argumen Aristoteles dan Ibn Sina. Dalam pembelaannya, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mereka yang mendakwa ahli-ahli filsafat yang memungkiri pengetahuan terhadap juziyat itu disebabkan karena mereka tidak dapat memahami maksud dari para ahli filsafat. Maksud para ahli filsafat tersebut adalah memungkiri pengetahuan Tuhan kepada juziyat sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa. Sebagai penganut Aristoteles, ia mencari jalan dengan begitu saja meninggalkan pendapat Aristoteles disamping ia juga tetap tidak mau meninggalkan prinsip-prinsip agama.
2. Keazalian Alam
Perdebatan mengenai keazalian alam juga sangat menarik. Ibnu Rusyd berusaha mengemukakan argumennya yang menyikapi pertanyaan tentang ; Apakah alam ini mempunyai permulaan atau tidak?
Menurud Ibnu Rusyd alam ini adalah azali, tanpa permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang azali, yaitu Tuhan dan alam itu sendiri. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd, keazalian Tuhan itu berbeda dengan keazalian alam. Menurutnya, keazalian Tuhan lebih utama daripada keazalian alam.
Untuk memperkuat argumennya, ia menyatakan pembelaannya sebagai berikut : Seandainya alam ini tidak azali, ada permulaannya, maka alam ini menjadi hadits (baru), mesti ada yang menjadikannya, dan yang menjadikan alam, haruslah ada yang menjadikan pula. Demikian berturut-turut tak ada habisnya. Keadaan berantai seperti itu (tasalsul) dengan tiada berkeputusan akan merupakan hal yang tidak dapat diterima akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu hadis (baru).
Karena diantara Tuhan dengan alam ada hubungan, meskipun tidak sampai pada masalah perincian walhal Tuhan azali, dan Tuhan yang azali itu tidak akan berhubungan sama, terkecuali dengan yang azali pula, maka seharusnya alam ini azali, meskipun keazaliannya kurang utama daripada keazalian Tuhan.
C. Incoherence of the Philosophers dan Incoherence of The Incoherence
Buku Incoherence of the Philosophers berisi sangahan Al Ghazali terhadap teori keabadian alam yang dikemukakan oleh filsuf sebelumnya. Al Ghazali menyanggah 4 poin terhadap filsuf-filsuf.
Poin pertama: Mengenai pernyataan bahwa dunia ini ada begitu saja.
Melalui pemahaman Aristotelian, setiap perubahan yang terjadi harus ditentukan oleh suatu sebab yang berada di luar dirinya. Hal ini tidak hanya berlaku untuk objek-objek fisik, tetapi juga berlaku untuk keadaan pikiran. Maka, jika Tuhan menginginkan suatu perubahan terjadi, maka beberapa sebab yang datang dari luar dirinya harus ikut mengatur atau menuntunnya kearah terwujudnya keputusan itu. Konsekuensinya, dunia harus kekal karena jika dunia tercipta dari ketiadaan (ex nihilo), muncul pertanyaan mengapa Tuhan mengizinkan adanya ketiadaan pra-adanya dunia dan mengapa Tuhan harus menunggu untuk membuat alam semesta. Menurut petunjuk Al Quran, Tuhan menciptakan segala sesuatu hanya dengan berkata “Jadilah, maka jadilah ia” (QS Ali Imran ayat 42). Jika Ia menginginkan adanya sesuatu, mengapa ia harus menunggu padahal Ia memiliki ke-mahakuasaan untuk memenuhi apapun yang ia mau.
Menurut Al Farabi: Jika yang menunda tindak pelaksanaan suatu perbuatan adalah suatu halangan bagi Tuhan, maka hal tersebut mengurangi ke-mahakuasaan Tuhan. Hal itu jelas tidak mungkin. Dengan begitu, Tuhan tidak menunggu untuk membuat alam semesta, yang berarti alam semesta bersifat kekal.
Para filsuf yang disanggah oleh Al Ghazali menganut emanasi Plotinos dimana model penciptaan melalui emanasi. Dunia ini terus-menerus terpancar dari Yang Satu. Maka hal itu akan berarti bahwa keberadaan sesuatu adalah tidak lebih lambat atau lebih akhir waktunya dari keberadaan Sang Pelaku (Sang Satu).
Sanggahan Al Ghazali:
Menurut Al Ghazali, teori semacam ini tidak koheren. Al Ghazali mengikuti teori kausalitas dimana Tuhan sudah merancang sebab-akibat dari segala sesuatu dan ciptaannya. Tuhan menggunakan tata aturannya sendiri dan mempunyai tujuan dari segala rancangannya karena kemauannya (iradat) mutlak. Iradat Tuhan bersifat mutlak dan terlepas dari ruang dan waktu, namun ciptaan Tuhan (dalam hal ini dunia) dapat ditangkap oleh akal manusia karena dunia terbatas dalam ruang dan waktu. Tuhan bersifat transeden, namun kemauan (iradat) Tuhan adalah immanent dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
Poin Kedua:
Hakikat waktu adalah kekal. Berangkat dari premis-premis Aristoteles, waktu mengandaikan atau sebagai ukuran keberadaan gerakan atau adanya pergerakan. Dalam pengertiannya, “sekarang” merupakan perkelanjutan dari masa lalu yang masih terus bergerak. “Sekarang” merupakan akhir dari masa lalu namun merupakan awal dari masa depan. Maka, tidak mungkin ada “sekarang” yang pertama tanpa adanya waktu sebelum “sekarang” itu. Juga tidak ada “sekarang” yang terakhir dengan tidak ada waktu setelah “sekarang” itu. Dengan demikian, tidak ada awal maupun akhir dari waktu. Karena waktu itu kekal dan waktu merupakan pengandaian dan ukuran adanya pergerakan. Sedangkan dunia terus bergerak, maka kesimpulannya adalah dunia itu kekal.
Sanggahan Al Ghazali:
Waktu juga diciptakan dan sebelum itu tidak ada waktu sama sekali. Tuhan ada lebih dulu sebelum adanya dunia dan waktu dan tanpa keberadaan dunia dan waktu. Kemudian, Ia ada dan bersamanya ada dunia dan ada waktu tapi Tuhan terlepas dari dunia dan waktu itu sendiri.
Poin Ketiga:
Tentang Potensialitas. Alam semesta tidak diciptakan. Pada saat sebelum adanya alam semesta, yang ada hanyalah kemungkinan bahwa alam semesta itu ada. Dan harus selalu dalam keadaan mungkin karena sekarang alam semesta itu nyata. Dengan demikian, dunia ini kekal dan bukannya terbatas.
Sanggahan Al Ghazali:
Argumen ini adalah argumen yang ganjil. Segala sesuatu yang tidak rusak bersifat abadi karena yang jelas hal-hal seperti itu tidak akan pernah keluar atau masuk ke dalam wilayah keberadaan. Sesuatu yang ada itu pasti rusak. Dunia itu mungkin dan dia ada pada satu waktu. Jika dia ada pada satu waktu, dia harus ada pada setiap waktu sehingga dia tidak akan punah atau rusak. Ada dugaan tersembunyi (suatu prinsip tersembunyi) yang dalam argumen seperti itu dapat diterima
Poin Keempat:
Prinsip kelimpahan. Alam semesta sebagai totalitas yang tidak akan punah karena bagian-bagiannya terus berganti. Materi membutuhkan materi lain untuk menjadi ada. Perubahan hanya bisa mungkin jika materi membutuhkan bentuk-bentuk yang berbeda dan dengan demikian sesuatu yang baru pun timbul.
Sanggahan Al Ghazali:
Jika kemungkinan mengandaikan keberadaan suatu materi, maka akan menjadi mustahillah untuk dapat memahami sifat-sifat tertentu, katakanlah sebagai contoh, warna sebagai suatu hal yang munkin ketika mereka tidak dikaitkan dengan benda.
PENUTUP
Perang wacana antara Al Ghazali dengan Ibnu Rusyd mencerminkan munculnya pemikiran filosofis yang cukup serius dan berpengaruh luar biasa terhadap pemahaman manusia mengenai pandangannya terhadap konsep ketuhanan dan alam semesta, yang sebenarnya jika dikaji lebih kritis, juga merupakan ‘pukulan telak’ bagi seluruh umat Islam. Umat Islam dituntut memahami dan meningkatkan kemurnian keimanan, dalam usaha memecahkan banyaknya misteri kehidupan yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam teks Al Qur’an ataupun Al Hadits.
Keduanya, Al Ghazali dan Ibnu Rusyd adalah para pemikir cerdas yang bersikap kritis dalam mencari hakikat hidup dan pengertian-pengertian yang mungkin dapat dipahami oleh akal budi manusia. Hanya saja memang, diantara keduanya terdapat kontroversi pemahaman. Perbedaan itu adalah berupa cara mereka memahami hal-hal metafisik untuk mencapai pengertian-pengertian yang bersifat adikodrati. Maksud Al Ghazali mengkritik pemikiran filsuf-filsuf sebelumnya adalah demi mempertahankan kemurnian agama Islam. Ia mencoba menunjukkan pada interpretasi teks dengan pertimbangan yang lebih gamblang. Artinya, segala informasi yang terkandung dalam teks Al Qur’an itu sudah sempurna, sudah bisa dipahami sebagai petunjuk hidup, dengan syarat mutlak harus memiliki keimanan yang paripurna.
Berbeda dengan Al ghazali, Ibnu Rusyd bermaksud mengadakan kompromi antara filsafat dan agama yang sepintas terlihat saling berlawanan satu sama lain. Ibnu Rusyd berusaha menjelaskan teori metafisika spekulatif para filsuf sebelumnya, juga menambahkan argument pribadinya, dalam menginterpretasi firman Tuhan. Ia mencoba menjelaskan kemungkinan-kemungkinan tentang sifat-sifat Tuhan dan alam ciptaanya menggunakan akal.
Biarpun diantara keduanya terdapat pertentangan dalam hal yang paling mendasar mengenai problem ketuhanan dan alam semesta, namun keduanya sama-sama memberikan kontribusi dan pelajaran berharga yang mampu diambil hikmahnya oleh manusia, baik sebagai muslim maupun bukan. Sintesa dari perdebatan mereka mengajarkan pada pentingnya menggunakan akal yang disertai keimanan yang kuat, dalam memahami masalah-masalah rumit yang metafisis spekulatif sepertihalnya problem ketuhanan dan alam semesta.

makalah simbolisme dan agama


KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah,dengan qudrah dan iradah Allah SWT akhirnya tulisan ini dapat hadir ke tangan para pembaca sekalian,makalah ini kami susun dengan harapan semoga bisa bermamfaat bagi kita dalam memahami kembali bagaimana simbolisme dalam keyakinan yang pernah di rumuskan oleh agama manusia.
Makalah ini kami susun sebagai sebuah upaya menghadirkan pembahasan yang rinci tentang penciptaan alam dari berbagai agama sehingga di harapkan mampu memberi gambaran sejauh mana makna dan fenomena simbolisme dalam keyakinan manusia, namun demikian saya meyakini masih adanya kekurangan secara mendasar baik dari segi penulisan,bahan rujukan,maupun dari segi pemaparan yang mungkin kurang tepat, karena itu kami sangat berterima kasih bila para pembaca nantinya dapat menambahkan sedikit masukan dan kritikan yang bersifat membangun demi keluasan pemahaman kita bersama.
Akhir kata,kami memohon maaf pada pembaca sekalian atas kekurangan dan kekeliruan isi bahasan makalah ini. semoga makalah ini dapat memberikan mamfaat bagi para pembaca  sekalian.semoga Allah terus melimpahkan rahmatnya kepada kita.


Wassalam








DAFTAR ISI














BAB I.

PENDAHULUAN

Dalam kehidupannya, manusia tidak bisa lepas dari simbol, bahkan dalam kehidupan agama atau spiritualnya manusia selalu menciptakan simbol bagi sesuatu kepercayaannya  yang dengan demikian dapat mengeksresikan keimanannya dan imajinasi terhadap hal yang abstrak namun di yakininya.
Hubungan antara manusis dengan simbol-simbol sangat erat sekali bahkan  kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dengan simbol. Begitu eratnya hubungan manusia dengan simbol sampai manusia pun disebut  sebagai makhluk yang hidup dalam simbol-simbol. Manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis, ungkapan yang simbolis ini merupakan ciri khas manusia, yang  membedakannya dengan hewan. Salah seorang filosof Ernst Cassirer, berpendapat bahwa manusia sebagi hewan yang bersimbol memang ada benarnya dengan bukti tersebut di atas. Filosof tersebut menegaskan bahwa manusia itu tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara  langsung kecuali melalui berbagai simbol. Kenyataan memang sekadar fakta-fakta tetapi sebenarnya  mempunyai makna psikis, karena simbol mempunyai unsur pembebasan dan penglihata tersendiri.
Lebih lanjut lagi penggunaan simbol ini menjadi begitu penting karena adanya suatu kondisi dimana kedekatan dan keindahan menjadikan ssesuatu yang di yakini itu hadir di tengah-tengah mereka, dalam makalah ini akan kita bahas sedikit lebih tentang fenomena ini dalam agama-agama.









BAB II.

PEMBAHASAN

A.    PENGERTIAN SIMBOL

Kata simbol berasal dari bahasa Yunani yaitu, symbolos  yang berarti tanda atau ciri yang memberitahukan segala sesuatu   hal kepada  seseorang. Atau bisa dikatakan,Simbol adalah semacam tanda, yang mengandung maksud tertentu, karena symbol merupakan suatu objek, kejadian, bunyi bicara atau bentuk-bentuk tertulis yang diberi makna oleh manusia. Manusia dapat memberi makna kepada setiap kejadiaan, atau objek yang berkaitan dengan pikiran gagasan dan emosi[1]. Maka untuk mempertegas pengertian simbol ini maka lebih dahulu dijelaskan pengertian  simbol, isyarat dan tanda. Simbol  atau  lambang ialah suatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman subjek kepada obyek.
Sedangkan isyarat ialah suatu hal atau  keadaan yang diberitahukan oleh subjek kepada obyek. Artinya subjek selalu berbuat  sesuatu untuk memberitahu kepada obyek yang diberi isyarat agar obyek mengetahuinya pada saat itu juga. Isyarat yang dapat ditangguhkan  penggunaannya akan berubah bentuk menjadi tanda. Contoh  isyarat  yaitu peluit kereta api, gerak-gerik bendera morse dan lain sebaginya. Dan tanda ialah suatu hal  atau keadaan yang menerangkan obyek kepada subjek. Tanda  selalu menunjuk kepada  yang riil (benda) kejadian atau tindakan. Contohnya sebelum guntur berbunyi selalu ditandai dengan kilat. Tanda almiah ini merupakan bagian dari  hubungan alamiah, sebelum guntur  meledak di dahului dengan kilat. Misalnya warna putih merupakan lambang kesucian, warna merah melambangkan keberanian, rantai di dalam  lambang Negara Republik Indonesia merupakan lambang kemanusiaan dan lain sebagainya.

B.     HUBUNGAN SIMBOL DAN MANUSIA

Hubungan antara manusis dengan simbol-simbol sangat erat sekali bahkan  kehidupan manusia tidak dapat dilepaskan dengan simbol. Begitu eratnya hubungan manusia dengan simbol sampai manusia pun disebut  sebagai makhluk yang hidup dalam simbol-simbol. Manusia berpikir, berperasaan dan bersikap dengan ungkapan-ungkapan yang simbolis, ungkapan yang simbolis ini merupakan ciri khas manusia, yang  membedakannya dengan hewan. Salah seorang filosof Ernst Cassirer, berpendapat bahwa manusia sebagi hewan yang bersimbol memang ada benarnya dengan bukti tersebut di atas. Filosof tersebut menegaskan bahwa manusia itu tidak pernah melihat, menemukan dan mengenal dunia secara  langsung kecuali melalui berbagai simbol. Kenyataan memang sekadar fakta-fakta tetapi sebenarnya  mempunyai makna psikis, karena simbol mempunyai unsur pembebasan dan penglihatan (Cassirer, 1994: 23). Hal ini[2] dikuatkan pendapat bahwa simbol perlu ditafsirkan dan penafsiran akan mendekatkan diri pada pemikiran  yang akhirnya masuk dalam dimensi kemerdekaan, termasuk unsur pembebasan (Noerhadi, 1980: 193-194).
The Liang Gie (1975: 26) di dalam kamus logika  Dictionary of Logic menyebutkan bahwa simbol adalah tanda buatan manusia yang bukan berwujud kata-kata untuk mewakili sesuatu dalam bidang logika saja karena dalam budaya simbol dapat berupa kata-kata, berikut ini akan dijelaskan lebih lanjut. Simbol adalah sesuatu hal  atau keadaan yang merupakan  media pemahaman terhadap obyek, untuk mempertegas pengertian simbol ini lebih dahulu dijelaskan  pengertian  simbol, isyarat dan tanda. Simbol  atau  lambang ialah suatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman subjek kepada obyek.
Sedangkan isyarat ialah suatu hal atau  keadaan yang diberitahukan oleh subjek kepada obyek. Artinya subjek selalu berbuat  sesuatu untuk memberitahu kepada obyek yang diberi isyarat agar obyek mengetahuinya pada saat itu juga. Isyarat yang dapat ditangguhkan  penggunaannya akan berubah bentuk menjadi tanda.
Contoh  isyarat  yaitu peluit kereta api, gerak-gerik bendera morse dan lain sebaginya. Dan tanda ialah suatu hal  atau keadaan yang menerangkan obyek kepada subjek. Tanda  selalu menunjuk kepada  yang riil (benda) kejadian atau tindakan. Contohnya sebelum guntur berbunyi selalu ditandai dengan kilat. Tanda almiah ini merupakan bagian dari  hubungan alamiah, sebelum guntur  meledak didahului dengan kilat. Tanda-tanda yang dibuat manusia pun menunjukkan sesuatu yang terbatas yang artinya menunjukkan hal-hal tertentu pula, misalnya tanda-tanda lalu lintas, tugu-tugu jarak jalan seperti kilometer, hektometer, tanda baca pada bahasa tulis, tanda-tanda  pangkat atau jabatan. Sebaliknya pada lambang contohnya lambang palang merah dan lambang Garuda Pancasila merupakan  suatu benda, keadaan atau hal yang mempunyai arti yang terkandung didalam lambang-lambang  tersebut.  Sebuah  benda, misalnya bunga, yang dirangkai menjadi untaian bunga atau kanvas yang menyatakan untuk ikut berduka cita atau bendanya, tetapi pemahaan arti benda itu dipakai sebagai lambang untuk menyatakan  ikut berduka cita.

Dalam hal ini sifat kejiwaan yang ditonjolkan. Bendanya sendiri  dibedakan dari unsur yang terkandung dalam dirinya sendiri dan diperluas maknanya. Buku C.A. Van Peursen  Strategi Kebudayaan  (1976: 141) menjelaskan pengertian  tanda dan simbol sebagai berikut[3] :
Pertama, sejumlah pengarang membedakan antara tanda dan simbol. Tanda mempunyai pertalian tertentu  dengan apa  yang ditandai. Dimana ada asap di situ ada api. Asap merupakan  tanda adanya api. Hewan pun dapat diajari tanda-tanda api. Hewan pun dapat diajari menghafalkan tanda-tanda. Ia sendiri dapat menciptakan tanda-tanda yang dinamai dengan simbol-simbol. Antara tanda dan yang ditandai  tidak ada lagi pertalian alamiah. Huruf api itu merupakan sebuah simbol. Dengan cepat kita memahami tanda-tanda tersebut. Suatu perjanjian lisan dan sederhana sudah cukup disebut tanda. Terdapat juga simbol-simbol yang semata-mata dalam ilmu matematika, atau petunjuk-petunjuk di sebuah stasiun.
Kedua, terdapat juga simbol-simbol  yang terbina selama berabad-abad. Lambang-lambang purba seperti api, air, matahari, ikan  mempunyai  fungsi yang kadang-kadang religius seni  atau aspek-aspek tersebut  tidak dapat dipisahkan, dan dalam lingkungan kebudayaan kuno  memang berjalan bersama-sama. Contoh bagus dapat dijumpai dalam huruf-huruf hieroglif di Mesir Kuno. Hurufhuruf tersebut menggambarkan makna dan menjadi lambang-lambang keagamaan  kuno yang sekaligus merupakan ekspresi seni yang indah sekali.
Ketiga,  lambang-lambang  mengejawantahkan proses belajar, sehingga seolah-olah dapat naik menara lalu dapat  memandang daerah-daerah luas yang belum ia kenal. Kemudian ia tahu arah mana yang harus dijadikan kiblat. Manusia tidak seperti  hewan yang terkurung dalam lingkungan  alam tetapi  alat itu diangkat ke dalam daya letusan-letusan simbol-simbol sendiri. Ini berarti bahwa manusia tidak hanya  mendirikan menara-menara yang memperluas pandangan, melainkan pemandangan   sendiri diubahnya.
Lambang-lambang merupakan petunjuk jalan di tengah-tengah kesimpangsiuran perbuatan manusia. Lambang itu melontarkan pertanyaan, bagaimana orang menanggapi situasi di sekeliling? Simbol-simbol merupakan tugu-tugu yang menandai proses belajar umat manusia, petunjuk jalan ke arah pembaharuan. Bahkan lambang-lambang purba yang sepanjang abad dewasa ini dijumpai dalam  mitos kesenian, kebudayaan impian dan bawah sadar, bukanlah hal-hal yang tetap melainkan selalu  harus ditafsirkan kembali. Dengan penafsiran ulang, lambang-lambang itu dapat berlaku, seperti dalam psikoterapi dan kesenian, daya simboliknya tetap sama, asal disusun menjadi kaidah-kaidah baru.
Keempat, lambang-lambang memperlihatkan sesuatu dari kaidah-kaidah tersebut tidak hanya bertalian dengan akal budi dan  pengertian manusia, tetapi seluruh pola kehidupan, perbuatan dan  harapannya. Kaidah  tersebut yang  bertalian dengan situasi-situasi yang disusun kembali lewat perubahan-perubahan dalam simbol-simbol, lambang-lambang bukan hasil kerja otak, bukan semacam teka-teki silang. Lambang-lambang harus dipraktekkan. Ia merupakan jalan yang memakai  arah kepada  perjalanan   manusia, alat-alat transformasi, untuk mengubah sesuatu. Semua aktivitas manusia berlangsung lewat kaidah-kaidah tertentu, entah dalam sesuatu mekanisme teknis,  kebijaksanaan politik, perwujudan artistik ataupun argumentasi ilmiah. Kaidah-kaidah tadi mengkoordinir lambang-lambang yang dipakai manusia. Jurnal Filsafat, April 2003, Jilid 33,  Nomor 1 100
Kelima, lambang-lambang itu, berada di luar badan manusia dan tidak  terikat dengan naluri jasmani. Manusia dapat menangani  simbol-simbol. Simbol muncul bila manusia  mempelajari  yang sedang berlangsung. Belajar berarti menggali ilmu. Manusia  memiliki dan menggunakan  media  yang disedia bahasa bahasa untuk menampung hasil pelajarannya. Dengan  bahasa  manusia mentransfer ilmu-ilmu  yang telah  didapat generasi selanjutnya. Dengan demikian  sesuatu  yang dipelajari setiap angkatan  terus menerus menambah  khasanah pelajaran-pelajaran, sehingga  pengetahuan  manusia terus  bertambah, seiring dengan kemajuan  jaman, dan  meluasnya wawasan  manusia. Pada  proses  pembelajaran  selanjutnya, ilmu dan pengetahuan manusia ditulis agar tidak hilang. Penulisan ilmu  itu tentu  menggunakan lambang-lambang atau simbol-simbol abstrak  yang disandikan  (bahasa sandi). Maka pengertian bahasa menjadi luas, mencakup segala macam bentuk simbol.

C.     HUBUNGAN SIMBOL DAN AGAMA

Agama sebagai sebuah institusi sistem kepercayaan yang mengandung  keyakinan serta imajinasi manusia tentang keberadaan yang gaib, yaitu tentang  hakikat  hidup dan maut dan tentang wujud dewa-dewa dan makhluk halus lainnya yang mendiami alam gaib. keyakinan-keyakinan  seperti  itu  biasanya diajarkan kepada manusia dari kitab-kitab suci agama yang bersangkutan  atau dari  mitologi dan dongeng-dongeng suci yang hidup dalam masyarakat. Sistem kepercayaan sangat erat hubungannya dengan sistem upacara-upacara keagamaan dan menentukan  tata cara  dari unsur-unsur, acara, serta keyakinan alat-alat yang dipakai dalam sebuah upacara.[4]Tujuan sistem upacara keagamaan adalah untuk  digunakan sebagai media hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahkluk halus yang mendiami  alam gaib. Sistem upacara keagamaan ini melambangkan konsep-konsep yang   terkandung dalam sistem  kepercayaan. Seluruh sistem upacara keagamaan terdiri dari aneka macam upacara. yang terdiri  dari  kombinasi berbagai macam unsur upacara, misalnya  berdo’a, bersujud, sesaji, berkurban, dan sebagainya.
Kedudukan  simbol dalam agama sebagaimana dapat dilihat dalam kegiatan atau upacara  keagamaan. Tindakan simbolis dalam upacara keagamaan merupakan bagian sangat penting karena tindakan simbolis ini melambangkan  komunikasi manusia dengan Tuhan. Simbolisme dalam agama dapat dilihat pada segala bentuk upacara keagamaan dalam bentuk-bentuk kisah nabi, mulai dari Nabi Adam as sampai dengan nabi Muhammad SAW.
Cara-cara berdo’a mansuia dari dulu dampai sekarang selalu  diikuti dengan tingkah laku simbolis, misalnya mengucapkan do’a sambil  menengadahkan kedua telapak tangan dan seraya mendongakkan kepala  ke atas, seolah siap menerima sesuatu dariTuhan.[5] 
Dalam hal inilah persepsi tentang penggunaan simbol menjadi sebagai salah satu ciri signifikan manusia yang akan menjadi sasaran penting dalam sosioligi dan disiplin lainnya.Dalam dunia antropologi, istilah simbol sudah semenjak lama dinyatakan baik secara ekpresif implicit. Edward tylor, perintis antropologi pada abad ke-19, misalnya menilis kekuatan penggunaan kata-kata sebagai tanda untuk mengekspresikan pikiran, yang dengan ekspresi itu bunyi tidak secara langsung menghubungkannya, sebenarnya sebagai simbol-simbol arbiter, adalah tingkat kemampuan khusus manusia yang tertinggi dalam bahasa yang keadirannya mengikat bersama semua ras manusia dalam kesatuan mental.[6]
Agama sebagai sebuah institusi sistem kepercayaan yang mengandung  keyakinan serta imajinasi manusia tentang Tuhan, keberadaan berada gaib, supranatural, yaitu tentang  hakikat  hidup dan maut dan tentang wujud dewadewa dan makhluk halus lainnya yang mendiami  alam  gaib. Keyakinankeyakinan  seperti  itu  biasanya diajarkan kepada manusia dari kitab-kitab suci agama yang bersangkutan  atau dari  mitologi dan dongeng-dongeng suci yang hidup dalam masyarakat. Sistem kepercayaan  erat hubungannya dengan sistem upacara-upacara keagamaan dan menentukan  tata cara  dari unsur-unsur, acara, serta keyakinan alat-alat yang dipakai dalam upacara (Koentjaraningrat, 1974 : 19).
Tujuan sistem upacara keagamaan adalah untuk  digunakan sebagai media hubungan manusia dengan Tuhan, dewa-dewa atau mahkluk halus yang mendiami  alam gaib. Sistem upacara keagamaan ini melambangkan konsepkonsep yang   terkandung dalam sistem  kepercayaan. Seluruh sistem upacara keagamaan terdiri dari aneka macam upacara terdiri  dari  kombinasi berbagai macam unsur upacara, misalnya  berdo’a, bersujud, sesaji, berkurban, dan sebagainya. Kadangkala interpretasi terhadap kitab sucipun mengarah kepada pemahaman simbolik, misalnya Ibnu Araby dalam interpretasinya terhadap Qur’an melangkah sangat jauh meninggalkan makna literal teks, dan menyeberang ke pemahaman simbolik (Chittick, 2001: vi) Kedudukan  simbol dalam agama sebagaimana dapat dilihat dalam kegiatan atau upacara  keagamaan merupakan penghubung antara  komunikasi human kosmis dan komunikasi keagamaan lahir  dan batin. Tindakan simbolis dalam upacara keagamaan merupakan bagian sangat penting karena tindakan simbolis ini melambangkan  komunikasi manusia dengan Tuhan. Simbolisme dalam agama dapat dilihat pada segala bentuk upacara keagamaan dalam bentuk-bentuk kisah nabi, mulai dari Nabi Adam as sampai dengan nabi Muhammad SAW.
Cara-cara berdo’a mansuia dari dulu dampai sekarang selalu  diikuti dengan tingkah laku simbolis, mengucapkan do’a sambil  menengadahkan kedua telapak tangan seraya mendongakkan kepala  ke atas, seolah siap menerima sesuatu dari Tuhan Yang Maha Tinggi. Kisah  nabi Adam as dan Hawa yang memakan buah khuldi juga merupakan simbol dalam agama. Dalam kisah tersebut nabi Adam AS dan Hawa telah berhasil dibujuk oleh iblis (menampakkan diri sebagai ular) memakan buah khuldi. Ular adalahs seekor binatang yang memiliki lidah bercabang dan racun bisa yang sangat   berbahaya bagi manusia. Apalagi jika pembicaraannya bertambah dengan kata-kata yang berbisa, kedengarannya lemah lembut namun sesungguhnya mengandung maksud jahat.


D.    TRADISI SIMBOLISME

Semua kegiatan dalam kehidupan manusia, baik yang bersifat religius maupun non-religius, pada umumnya melibatkan simbolisme. Ada tiga bentuk tradisi symbol-simbol yang di kenal:
1.      Tradisi symbol ekspresi.
Tradisi symbol ini lahir dari berbagai ekspresi manusiadi dalam membentuk dan memberi makna terhadap forma atau bentuk-bentuk yang hidup dari objek yang ada di sekelilingnya dan terhadap fakta religius yang trasedental. Dan dari hasil ekspresi tersebut maka dapat melahirkan berbagai tradisi simbolisme dalam bentuk-bentuk senu budaya. Dan lewat seni budaya tersebut dapat melahirkan berbagai pesan komunikatif antara manusia dengan sesama manusia
2.      tradisi symbol kratofani
yang lahir karena adanya factor wahyu di dalam tradisi memahami dan memaknai asal-usul atau sumber dokrit. Wahyu sering di simbolkan sebagai langit, dan langit merupakan symbol transedensi yang kudus, maka mentradisilah istilah alam mengorientasiakan agama sebagai agama langit. Pemakanaan symbol ini sesuai engan agama masing-masing dimana symbol tersebuttalah terorganisir dan terstruktur.
3.      tradisi symbol herofani
yang memaknai hubungan manusia dengan TuhanNya yang kudus dalm bentuk pemujaan dan penyembahan. Salah satu dari tradisi symbol ini dalah terlihat pada pengkultusan benda-benda, batu, gunung, pohon, bahkan tikar(sajadah) tempat sujud. Melalui penyembahan kepada benda-benda itulah manusia tersebut dapat sampai pada pengenalan yang kudus, kemudiaanya mentradisi dalam bentuk pemujaan.

E.     AGAMA SEBAGAI FENOMENA SIMBOLIK

Berbagai fenomena simbolik yang lahir dari sebuah kepercayaan, dariberbagai ritual dan etika agama merupakan ungkapan simbolis yang bermakna  agama. Pada aspek kepercayaan symbol menetapkan tanda realitastransenden didalam hubungan dengan kebenaran (wujud)-Nya Yang kudus, sehingga manusia dapat sampaipada pengenalan yang kudus dan trasenden. Dan fenomena yang kultus terdapat didalam agama-agama, adalah salah satu bentuk interpretative dari sebuah kepercayaan atau keyakinan agama yangdi repleksikan dalam berbagai bentuk persembahan dan pemujaan.
Apabila dalam islam system kepercayaan berintikan kepada pemujaan zat yang maha Esa(tauhid) sebagai simbolis Tuhan Allah yang disembah, maka dalam agama lain pun juga demikian misanya, dalam agama khatolik, pemujaan di wujudkan dalam  bentuk penyembah-an patung yesus yang di percayai sebagai unsure utama dari system keyakinan. Pemujaan hinduisme terfenomena pada penyembahan patung TRI murti yang di yakini sebagai symbol dewa brahma, wisnu dan shiwa. Brahma sebagai symbol pencipta di lambing dengan empat tangan yang di interpretasikan dengan makna; di samping tangan jasmani juga di perlukan tangan-tangan rohani sebagai lambang rencana penciptaan.Wisnu adalah symbol pemelihara-an yangdi lambangkan dengan gambar seorang petapa sementara shiwa dilambangkan sebagai perusak yang duduk di atas ular kobra.
Dalam budhisme, pemujaan dan penyembahan patung budha duduk bersila dengan postur mistis merupakan inti kepercayaan budha yang di interpretasikan dengan yang maha mengetahui, yang mencari di gambarkan dalam bentuk patung-patung budha adalah symbol kebebasan spiritual bagi umatnya. Memodelkan tuhan sebagai bentuk symbol, tidak hanya di jumpai dalam agama histories saja tetapi juga terdapat pada ajaran pra-istoris melalui beberapa tahapan. Fenomena pemujaan dan penyembahan ke pada batu(patung dari batu) dan unsur-unsur alam kosmos lainnya yang di simbolkan sebagai tuhan dalam bentuk kepercaya-an primitive, menggambarkan manusia pahlawan dan juru selamat sebagai symbol Tuhan adalah tahap kedua dari kepercayaan umat manusia.
Kesemua fenomena keagamaan di atas, mulai dari system kepercayaan sebagai institusi agama, system ritual  sebagai aplikasi dari inti atau isi yaitu agama dan system moralnya merupakan hasil refleksi dari manusia, baik pengalaman individual maupun kelompok.

 





BAB III.

ANALISIS SISTEM MAKNA SIMBOL DALAM AGAMA

Simbol adalah lambang yang berbicara tanpa kata-kata, menulis tampa tulisan.oleh karena itu symbol merupakan cara pengenalan makna secara otonom, maupun logikanya sendiri, tersruktur dalam suatu system yang koheren, bersifat mistis dan universal[7]. Berdasarkan hal tersebut, maka dapat digambarkan beberapa system symbol dengan makna yang terkandung di dalamnya, di antaranya yaitu;
a.       Bulan bintang
Simbol ini secara realitasnya koheren dengan islam,bulan bintang adalah simbolisme dari nabi atau rasul, yang melambangkan hati yang peka. Nabi dan rasul sebagai penghambar sebagai atasan, peterjemah bahasa ilahiyah dan lain-lain, tidak mungkin ia jalankan secara,kekerasan kecuali dengan hati yang terbuka, sehingga mereka di simbolkan dengan orang yang terpilih seperti bulan. Bulan sabit dikaitkan dengan hati, berarti hati yang responsive terhadap cahaya ilahi,cahaya ilihi sendiri di simbolkan dengan bintang segi lima. Di sebutkan dengan bintang segi lima karenaketika cahaya itu terang ia mempunyai segi lima, ketika di pantulkan menjadi segi empat. Pada pembentukan pertama memberi makna pencipta sedangkan bentuk yang lainnya membri makna ketiadaan. Sebagai wujud alami manusia yang di mulai dari ada ke tiada.
b.      Warna dan ritual
Pemilihan warna dalam sebuah ritual juga mempengaruhi penafsiran symbol masing-masing sesuai dengan tradisi dan penganut agama tertentu. Misalnya dalam agama Kristen warna banyak di gunakan sebagai symbol adalah, putih, kuning keemasan, merah, hijau dan unggu. Kunimg dan keemasan memiliki makna simbolis keabadiaan, kesucian, kemurnian, dan kebenaran. Warna merah melambangkan api dan darah, warna hijau melambangkan ketenangan, menyegarkan dan melegakan. Warna unggu sebagai symbol kebijaksanaans, keseimbangan, kehati-hatian dan was-was diri. Di dalam agama hindu atau Buddha di dominasi dengan warna kuning, sementara islam memendang putih dan hijau, merupakan warna yang sacral, sehingga warna hijau di maknai dengan pengislaman.

c.       Simbol salib
Lambang salib di maknai dengan tiga rahasia dan dengan memaknai tiga rahasia ini kita akan memaknai seluruh ala mini, yaitu pertama dari sisi bentuknya, melambangkan manusia yang sempurna, kedua ruang dimana pada silib terdapat dua ruang horizontal yangmemantulkan dua ruang bulat yang bersifat mistis. Dua ruang mistis ini dimaknai dua dunia, yaitu dunia ini dan dunia sesudahnya dan dua symbol inilah yang memperlihatkan tanda-tanda persilangan.
d.      Simbol zunar
Zunar adalah symbol zuroster bebentuk benang sutra yang di pakai pada rompi, baik laki-laki maupun perempuan. Benag sutra di percayai sebagai benda yang paling keramat. Arti moral zunar adalah pelayanan, sementara makna mistisnya, ketika zunar itu telah di sucikan dengan air, api dan udara kemudian di pakai secara horizontal dalam bentuk salib, maka seseorang yang memakai bermakna sebagai mahluk tuhan  dan tidak boleh melakukan pekerjaan secara bebas melaikan harus mendahulukan pelayanan kepada tuhan dan mahluknya
e.       Simbol matahari
Simbol ini bermakna alam semesta dari tuhan.simbol ini pada umunya di gambarkan dalam bentuk yang berbeda-beda. Misalnya dalam agama hindu terdapat beberapa candi dan Buddha juga terdapat symbol matahari disekeliling avatar. Begitu juga dalam islam lambing matahari yang di likiskan dalam bahasa Persia atau arab sering di gambarkan dalam bentuk mesjid, meskipun tidak di maknai sebagai symbol suci.
f.       Simbol seruling dan bulu merak         
Simbol ini merupakan symbol yang suci yang di gambarkan dalam bentuk krisna meniup seruling dan memakai bulu burung merak. Seruling adalah symbol penderitaan dan kesedihan yang di alami jiwa sepanjang hidupnya yang di gambarkan seperti lubang-lubang yang ada pada buluh seruling. Apabila di tiup menjadi sebuah alat yag menhasilkan musik dan melalui alat itulah manusia tergugah untuk mengenal tuhan. Sementara bulu merak di kepala adalah symbol pengetahuan.

g.      Simbol air
Air adalah symbol dari ruh. Sifat dasar dari air adalah memberi kehidupan ke pada bumi, demikian juga sifat ruh memberi kehidupan pada tubuh. Tampa air bumi akan mati begitu juga tubuh apabila tampa ruh akan mati. Air dan bumi keduanya bercampur, ruh juga bercampur dengan materi dan menghiduokannya kembali. Hal itu bermakna ruh seperti air yang berada didalam bumi. Di tempat manapun bumi ini pasti ada air (kecuali tempat tertentu) begitu juga ruh, tidak ada ruang yang di tempati ruh, hanya ketiadaan materi saja yang memungkinkan.
h.      Simbol anggur
Anggur sebagai symbol suci tidak hanya dalam keprcayaan agama nasrani, tetapi juga dalam kepercayaan lainnya, seperti zaroaster dan hindu. Anggur adalah lambing dari evolusi manusia. Anggur yang berasal dari proses penghancuran. Buah anggur adalah lambang keabadian yang datang dari proses peniadaan diri. Ketika diri berubah sesuatu yang beradadari sebelumya, layaknya jiwa yang terlahir kembali.anggur berubah sebuah minuman hal inilah yang menjadi perubahan yang akan lebih baik.
i.        Simbol merpati
Merpati di simboliskan sebagai pembawa pesan dari satu tempat ketempat yang lain dan lambang burung merpati itu adalah lambing alam untuk mewakili pesuruh dari atas sana. Burung adalah symbol yang mewakili musafir langit dan juga mewakili mahluk yang aslinya di bumi dan bisa tinggal di angkasa. Symbol ini bermakna pertama, burung mewakili gagasan tentang jiwa yang tempat tinggalnya di surga. Yang berikutnya mewakili penghunu bumi yang berjalan di lingkungan yang lebih tinggi,kedua, memberi makna berupa gagasan bahwa manusia spiritual tinggal di bumi, berasal dari surga yang bertempat di bumi sementara waktu. Symbol ini menggambarkan tentang kehidupanyang akan di tempatkan oleh manusia sebagai mahluk beragama.
j.        Simbol buraq
Buraq di simbolkan sebagai kendaraan pada perjalan mi’raj nabi Muhammad saw, dan mi’raj adalah suatu insiasi perjalanan dari baitul maqdis ke sidratul muntaha. Perjalanan ini dari sudut mistisnya di maknai dengans’’perjalanan dari mesjid perdamaian ke dalam mesjid perdamaian. Simbl buraqdi pandang sebagai hewan  surga yang mempunyai sayap dan bertubuh kuda, dan bermuka manusia. Sayap di maknai dengan pikiran, tubuh melambang tubuh manusia, dan kepalanyamelambangkan kesempurnaan.
  1. Swastika
merupakan salah satu simbol yang paling disucikan dalam tradisi Hindu, merupakan contoh nyata tentang sebuah simbol religius yang memiliki latar belakang sejarah dan budaya yang kompleks sehingga hampir mustahil untuk dinyatakan sebagai kreasi atau milik sebuah bangsa atau kepercayaan tertentu.Di yakini sebagai salah satu simbol tertua di dunia, telah ada sekitar 4000 tahun lalu (berdasarkan temuan pada makam di Aladja-hoyuk, Turki), berbagai variasi Swastika dapat ditemukan pada tinggalan-tinggalan arkeologis ( koin, keramik, senjata, perhiasan atau pun altar keagamaan) yang tersebar pada wilayah geografis yang amat luas.
Wilayah geografis tersebut mencakup Turki, Yunani, Kreta, Cyprus, Italia, Persia, Mesir, Babilonia, Mesopotamia, India, Tibet, China, Jepang, negara-negara Skandinavia dan Slavia, Jerman hingga Amerika. Budha mengambil swastika untuk menunjukkan identitas Arya.  Makna simbul Swastika adalah Catur Dharma yaitu empat macam tugas yang patut kita Dharma baktikan baik untuk kepentingan pribadi maupun untuk umum (selamat, bahagia dan sejahtra) yaitu:
1. Dharma Kriya: Melaksanakan swadharma dengan tekun dan penuh rasa tanggung jawab
2. Dharma Santosa: Berusaha mencari kedamaian lahir dan bathin pada diri sendiri.
3. Dharma Jati: Tugas yang harus dilaksanakan untuk menjamin kesejahtraan dan ketenangan keluarga dan juga untuk umum
4. Dharma Putus: Melaksanakan kewajiban dengan penuh keikhlasan berkorban serta rasa tanggung jawab demi terwujudnya keadilan social bagi umat manusia.
Makna yang lebih dalam yaitu Empat Tujuan Hidup yaitu Catur Purusartha / Catur Warga: Dharma, Kama, Artha, Moksa.
1. Dharma : Kewajiban/kebenaran/hukum/Agama/Peraturan/Kodrat
2. Artha : Harta benda / Materi
3. Kama : Kesenangan / Hawa Nafsu
4. Moksa : Kebebasan yang abadi
Simbol ini, yang dikenal dengan berbagai nama seperti misalnya Tetragammadion di Yunani atau Fylfot di Inggris, menempati posisi penting dalam kepercayaan maupun kebudayaan bangsa-bangsa kuno, seperti bangsa Troya, Hittite, Celtic serta Teutonic. Simbol ini dapat ditemukan pada kuil-kuil Hindu, Jaina dan Buddha maupun gereja-gereja Kristen (Gereja St. Sophia di Kiev, Ukrainia, Basilika St. Ambrose, Milan, serta Katedral Amiens, Prancis), mesjid-mesjid Islam ( di Ishafan, Iran dan Mesjid Taynal, Lebanon) serta sinagog Yahudi Ein Gedi di Yudea.
Swastika pernah (dan masih) mewakili hal-hal yang bersifat luhur dan sakral, terutama bagi pemeluk Hindu, Jaina, Buddha, pemeluk kepercayaan Gallic-Roman (yang altar utamanya berhiaskan petir, swastika dan roda), pemeluk kepercayaan Celtic kuna (swastika melambangkan Dewi Api Brigit), pemeluk kepercayaan Slavia kuno (swastika melambangkan Dewa Matahari Svarog) maupun bagi orang-orang Indian suku Hopi serta Navajo (yang menggunakan simbol itu dalam ritual penyembuhan). Jubah Athena serta tubuh Apollo, dewa dan dewi Yunani, juga kerap dihiasi dengan simbol tersebut. dan swastika juga merupakan simbol identis dari salib.
Di pihak yang lain, Swastika juga menempati posisi sekuler sebagai semata-mata motif hiasan arsitektur maupun lambing entitas bisnis, mulai dari perusahaan bir hingga laundry. Bahkan perusaha besar Microsoft menggunakan lambang swastika miring ke kanan 45 derajat, mungkin sebagai lambang keberuntungan. Karena sampai saat ini tercatat sebagai perusahaan terkaya di Dunia. Bahkan, swastika juga pernah menjadi simbol dari sebuah kekejaman tak terperi saat Hitler menggunakannya sebagai perwakilan dari superioritas bangsa Arya. Jutaan orang Yahudi tewas di tangan para prajurit yang dengan bangga mengenakan lambang swastika (Swastika yang “sinistrovere”: miring ke kiri sekitar 45 derajat) di lengannya. Swastika sebagai lambang Dewa Ganesha (anak Shiva yang bermuka gajah), sebagai makna Catur Dharma.

 


 

 


BAB IV. PENUTUP

Demikianlah ringkasnya tentang fenomena Simbol,sebagai tanda buatan manusia yang bukan berwujud kata-kata untuk mewakili sesuatu dalam bidang logika saja karena dalam budaya simbol dapat berupa kata-kata. Simbol adalah sesuatu hal  atau keadaan yang merupakan  media pemahaman terhadap obyek, Simbol  atau  lambang ialah suatu hal atau keadaan yang memimpin pemahaman subjek kepada obyek.Tindakan simbolis dalam upacara keagamaan merupakan bagian sangat penting karena tindakan simbolis ini melambangkan  komunikasi manusia dengan Tuhan. kegiatan dalam kehidupan manusia, baik yang bersifat religius maupun non-religius, pada umumnya melibatkan simbolisme.
Tradisi symbol Symbol ini lahir dari berbagai ekspresi manusiadi dalam membentuk dan memberi makna terhadap forma atau bentuk-bentuk yang hidup dari objek yang ada di sekelilingnya, tradisi-tradisi tersebut jika di kaji akan nampak berbeda dalam segi nilainya. Seperti ekspresi,symbol kratofani karena adanya factor wahyu di dalam tradisi memahami dan memaknai asal-usul atau sumber dokrin, symbol herofani yang memaknai hubungan manusia dengan TuhanNya yang kudus dalm bentuk pemujaan dan penyembahan, Pada aspek kepercayaan symbol menetapkan tanda realitastransenden didalam hubungan dengan kebenaran (wujud)-Nya Yang kudus, sehingga manusia dapat sampai pada pengenalan yang kudus dan trasenden.
Sebenarnya sangat banyak simbol yang masih hidup sampai sekarang bahkan tidak kita sadari ada pada peralatan, pakaian,makanan, kenderaan, lukisan, lagu, hiasan, gambar, film, atau pada logo produk, iklan, bahkan pada gerakan tubuh, yang kesemuanya itu sengaja di buat untuk kepentingan kelompok atau sebagai sesuatu ekspresi dari ideologi mereka. Dan sebagaimana contoh diatas, simbol-simbol ada yang berlaku universal, sinkretis, atau bersifat doktrinal saja.  Simbol-simbol itu tentu saja adalah simbol sakral, yang di yakini sebagai tanda untuk suatu alasan yang suci pula.






DAFTAR BACAAN

Ahmad Fedyani Saidfuddin, Antropologi kontemporel, Jakarta Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005
Jurnal Filsafat, April 2003, Jilid 33,  Nomor 1
M. Ibnu, Simbolisme Agama dalam Politik
Konentjaranigngrat,Beberapa Pokok Antropologi Sosial,Jakarta; Dian Rakyat, 1980
Dandang  kahmad, Sosiologi Agama,Bandung: Rosda Karya,2006
Nurdinah Muhammad, Antropologi Agama,Banda Aceh: Ar-raniry Press,2007
http//www.indoforum.org



[1] Ahmad Fedyani Saidfuddin, Antropologi kontemporel, (Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2005), h.288.
[2] Jurnal Filsafat, April 2003, Jilid 33,  Nomor 01 h. 98
[3] M. Ibnu, Simbolisme Agama dalam Politik h.99
[4] Konentjaranigngrat,Beberapa Pokok Antropologi Sosial,( Jakarta; Dian Rakyat, 1980),h. 19.
[5] M. Ibnu, Simbolisme Agama dalam Politik h. 101
[6] Dandang  kahmad, Sosiologi Agama,(Bandung: Rosda Karya,2006), h. 90.
[7] Nurdinah Muhammad, Antropologi Agama,(Banda Aceh: Ar-raniry Press,2007),119-124.