Diantara banyaknya perdebatan filsafat yang rumit
dan radikal, terdapat hal yang sangat menarik dan menjadi perhatian banyak
kalangan akademisi juga para pecinta filsafat. Hal tersebut adalah perang
argument antara Al Ghazali versus Ibnu Rusyd. Perang argument filosofis antara
Al Ghazali versus Ibnu Rusyd yang paling menonjol adalah mengenai problem
ketuhanan dan alam semesta. Keduannya mempunyai pandangan yang berbeda dalam
menginterpretasi teks Al Qur’an secara filosofis. Menariknya, keduanya
sama-sama dari kalangan muslim, akan tetapi argument-argument diantara keduanya
mengundang kontrovesi yang sangat mendasar, baik bagi kalangan umat muslim
sendiri maupun bagi kalangan non-muslim (baca : dunia barat).
Perdebatan mengenai persoalan ketuhanan dan alam
semesta dalam filsafat Islam, dapat ditemukan dalam aliran pemikiran Tasawuf
dan Falasifa (filsafat dalam Islam). Berdebatan ini adalah antara Al Ghazali
dengan kritiknyaTahafutul Falasifa (Incoherence of the
Philosophers) dengan Ibnu Rusyd dalam karyanya Tahafutul Tahafut(Incoherence
of the Incoherence). Perdebatan ini dimulai ketika Al Ghozali mulai
mengkritisi para filsuf-filsuf muslim sebelumnya, yaitu Al Farabi dan Ibnu Sina
yang pemikirannya berbau Aristotelian. Secara intensif Al Ghozali mengkritisi
tentang problem ketuhanan dan alam semesta yang telah dipikikan secara
metafisis spekulatif oleh para filsuf. Menurut Al Ghazali, hal ini tidak sesuai
dengan ajaran Al Qur’an dan Al Hadits yang merupakan sumber kebenaran mutlak
kaum muslimin. Kemudian, timbullah respond dan sanggahan dari Ibnu Rusyd terhadap
pemikiran Al Ghazali. Perdebatan antara keduanya akan saya coba jabarkan dalam
makalah ini.
PERSOALAN KETUHANAN DAN ALAM
SEMESTA
PERDEBATAN ANTARA AL GHAZALI
VERSUS IBNU RUSYD
A. Abu Hamid Al Ghazali
Nama lengkap Al Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad
ibn Muhammad ibn Muhammad Al Thusi Al Ghazali. Ia lahir pada tahun 450 H/1058 M
di Thus, sebuah daerah dekat Masyhad, di Khurasan (Iran). Al Ghazali wafat pada
tahun 505 H/1111 M. Nama Al Ghazali diambil dari kata ‘Ghazalah’ nama sebuah
kampung, dimana Al Ghazali dilahirkan.
Kota Thus adalah tempat Al Ghazali menerima
pendidikan awalnya. Tidak lama sebelum meninggal, ayahnya mempercayakan
pendidikan Al Ghazali dan adik laki-lakinya Ahmad (1126 M) kepada seorang sufi
yang saleh. Al Ghazali dididik untuk dapat mempelajari Al Quran dan Al Hadis,
mendengarkan kisah tentang ahli hikmah, juga menghafal puisi cinta mistis.
Setelah dana pendidikannya habis, ia dikirim ke sebuah madrasah, dimana
disanalah ia pertama kali mulai mempelajari fikih dari Ahmad Al Raskani.
Al Ghazali pergi ke Jurjan di Mazardaran untuk
melanjutkan studinya dibidang fikih di bawah bimbingan Abu Nashr Al Isma’ili
pada usianya yang masih dini, yakni sebelum lima belas tahun. Pada usia tujuh
belas tahun, ia kembali ke Thus. Sebelum ulang tahunnya ke dua puluh, Al
Ghazali berangkat ke Naisyapur (Naizabur) untuk belajar fikih dan kalam di
bawah didikan Al Juwaini. Al Ghazali diangkat sebagai asisten pengajar Al
Juwaini dan terus mengajar pada madrasah Nizamiyah di Nizabur hingga Al Juwaini
meninggal tahun 478 H/1085 M.
Al Ghazali mempunyai nama yang harum dalam
Islam. Ia adalah seorang yang termahsur sebagai pengarang, sebagai sufi dan
sebagai Shaykh Madrasah Al Nizamiah. Al Ghazali menyusun banyak buku untuk
membersihkan ilmu-ilmu agama Islam dari kesesatan. Karena jasanya itu, ia
dinobatkan sebagai seorang muslim terbesar sesudah Nabi Muhammad SAW. Dibalik
nama harumnya dikalangan umat muslim, terdapat fakta lain, bahwa Al Ghazali
juga di klaim sebagai penentang dan penghancur pemikiran filsafat, baik
filsafat dalam Islam sendiri, maupun filsafat di dunia barat.
Al Ghazali adalah orang yang berkebangsaan
Persia. Ia sempat mengalami krisis keimanan dan kemudian mampu menempuh hidup
sufi selama 10 tahun. Krisis keimanan yang dialaminya dipaparkannya sendiri
melalui sebuah otobiografi yang diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia dimana
dalam buku itu ia mengkritik 4 aliran dalam alam pikiran Islam pada masa itu,
yaitu aliran isma’illi atau batiniah, madzhab para
mutakalimun, tarikat tassawuf dan terutama falsafah hellenisme.
Pertama, Al Ghazali menulis buku berjudul Al
Maqasid Al filasifah, kemudian ia melengkapinya dengan menulis buku
keduanya yang berjudul Tahafutul Falasifa (ketidakberesan,
kekaburan dari filsafat, yang lazimnya diterjemahkan dengan penghancuran
filsafat). Kitab Tahafut terdiri dari 20 diskusi yang merupakan sistematisasi
dari ajaran falsafah yang berbentuk semacam dialog tertulis diikuti
bantahan-bantahan. Dari 20 dalil filsafat yang ditegurnya, hanya 4 yang
disebutnya secara langsung sebagai kufurat dan subversif terhadap iman Iislam
yang sejati yaitu dalil 1, 13, 18, 20. Isinya adalah sebagai berikut :
1. Dalil falsafah yang menyatakan bahwa dunia (alam) berfisat azali dan sama
abadinya dengan Tuhan, juga termasuk hasil emanasi, semuanya
wajib mengandung kufurat.
2. Dalil falsafah bahwa Tuhan tidak tahu hal-hal yang bersifat khusus
(partikular), tetapi hanya mengetahui dunia (alam) dari aspek umum (universal),
bertentangan dengan ajaran Al Quran : “Tiada yang luput bagi pengetahuan Ilahi”
dan merupakan suatu kufurat.
3. Dalil bahwa tidak semua jiwa manusia sesudah maut (kematiannya) masuk taraf
hidup baru (Farabi, Razi) menyimpang dari konsep keimanan Islam, dengan kata
lain masih dalam tataran kufurat. Bila mereka membuktikan dengan akal bahwa
jiwa tidak bisa hancur, bukti mereka batal, karena hal tersebut hanya dapat
diketahui melalui informasi wahyu Tuhan.
4. Penolakan kenikmatan badaniyah kelak dalam akhirat, dan penggantiannya
dengan kebahagiaan rohani semata-mata, adalah argument yang melwan wahyu Al
Qur’an. Yang dimaksud dengan penolakan tersebut juga merupakan dosa kufur.
Al Ghazali kembali mengkoreksi kepada faham yang
lebih umum. Selanjutnya dia mengkritik sejumlah dalil-dalil lain bukan sebagai
suatu kekufuran, melainkan sebagai suatu bid’ah dan tidak logis. Dalam diskusi
enam, Al Ghozali melawan ajaran ta’til dari mutazilah dan falsafah yang
meniadakan adanya sifat-sifat nyata pada Tuhan. Al Ghozali juga menulis dalam
beberapa argumen lain dengan memperbincangkan bukti tentang keberadaan Tuhan,
keesaan Tuhan, pengetahuan Tuhan, penciptaan dan persoalan mengenai jiwa
manusia.
Al Ghazali mengkritik filsafat yang semata-mata
mempergunakan akal dalam memahami persoalan ketuhanan. Menurutnya, hal tersebut
seperti mempergunakan suatu alat yang tidak mencukupi kebutuhan. Salah satu
kritiknya berisi: “Apa yang mereka sebutkan itu adalah buatan mereka sendiri,
bahkan pada hakikatnya merupakan kegelapan diatas kegelapan. Pernyataan mereka
itu sama seperti ucapan orang yang sedang tidur dan bermimpi lalu mengeluarkan
kata-kata yang dapat dikirakan berasal daripada orang-orang yang berubah
akalnya”. Al Ghazali mengkhawatirkan pemikiran Al Farabi dan Ibnu Sina merusak
keimanan umat Islam yang umumnya kurang kritis, terutama tentang permasalahan
yang terkait dengan problem ketuhanan dan alam semesta.
Al Ghazali juga menentang pernyataan yang lahir
dari filsafat Aristotelian bahwa alam adalah kekal. Menurutnya, alam berasal
dari ketiadaan menjadi “ada” karena ciptaan Tuhan. Dunia berasal dari iradat
(kemauan) Tuhan semata-mata dan tidak bisa terjadi dengan sendirinya. Iradat
Tuhan bersifat mutlak dan terlepas dari ruang dan waktu, namun ciptaan Tuhan
(dalam hal ini dunia/alam) dapat ditangkap oleh akal manusia, karena dunia
terbatas dalam ruang dan waktu. Tuhan bersifat transenden, namun kemauan
(iradat) Tuhan adalah immanent dan merupakan sebab hakiki dari segala kejadian.
B. Abu Ya’la Al Walid Muhammad ibn Ahmad ibn Muhammad
Ibnu Rusyd
Dikalangan filsafat barat, Ibnu Rusyd lebih dikenal
dengan sebutan Averroes. Nama lengkapnya adalah Abu Ya’la Al Walid Muhammad ibn
Ahmad ibn Muhammad Ibnu Rusyd (1126-1198). Ia lahir di Cordova, Andalusia.
Kakeknya adalah seorang ahli fiqih dan ilmu hukum terkenal yang menjabat
sebagai imam besar di Masjid Jami’ Cordova, kemudian diangkat menjadi qadi atau
hakim agung. Setelah sepeninggalan akakeknya, jabatan hakim agung ini
diteruskan oleh puteranya, ayah dari Ibnu Rusyd.
Ibnu Rusyd terlahir dari keluarga ahli fiqih dan
hakim. Tidak mengherankan jika salah satu karyanya,Bidayat Al Mujtahid wa
Nihayat Al Muqtasid, menjadi salah satu karya terkemuka dalam bidang. Buku
ini merupakan suatu studi perbandingan hukum Islam, di mana di dalamnya
diuraikan pendapat Ibnu Rusyd dengan mengemukakan pendapat-pendapat para imam
fiqih.
Selain pandai dalam hal hukum dan ilmu fiqih, ia
juga merupakan seorang dokter dan astronom. Tetapi, provesii ini kurang
terkenal dibandingkan dengan reputasinya sebagai filsuf. Ia dianggap sebagai
salah satu dokter terbesar di zamannya. Menurut Sarton, ia adalah orang pertama
yang menerangkan fungsi retina dan orang pertama yang menjelaskan bahwa
serangan cacar pertama akan membuat kekebalan berikutnya pada orang yang
bersangkutan.
Sebagai seorang pemikir besar muslim, ia mempunyai
gagasan-gagasan filosofis mengenai problem ketuhanan dan alam semesta.
Pemikirang Ibnu Rusyd ini, nantinya akan memberikan kontribusi besar terhadap
perkembangan filsafat, terutama di dunia barat, yang kemudian direinterpretasi
oleh filsuf barat hingga melahirkan renaisans dan zaman modern. Berikut akan
saya coba uraikan pemikiran Ibnu Rusyd mengenai problem ketuhanan dan alam
semesta.
1. Pengetahuan Tuhan
Pertanyaan Pertama : Apakah Tuhan mengetahui
segala perincian juziyat?
Dalam usaha menjawab pertanyaan ini Ibnu Rusyd
mengemukakan pendapat Aristoteles yang telah disetujuinya. Aristoteles
berpendapat bahwa Tuhan tidaklah mengetahui persoalah juziyat (hal-hal
partikular). Tuhan ibarat seorang kepala negara yang tidak mengetahui
persoalan-persoalan kecil didaerahnya.
Pendapat Aristoteles itu disetujuinya dengan
didasarkan atas argumen sebagai berikut :
Yang menggerakkan itu yakni Tuhan Al Muharrik.
Tuhan itu merupakan akal yang murni bahkan merupakan akal yang
setinggi-tingginya. Karena itu pengetahuan dari akal yang tertinggi itu
haruslah merupakan pengetahuan yang tertinggi pula agar ada persesuaian antara
yang mengetahui dan yang diketahui. Dan karena itu pula tidak mungkin Tuhan itu
mengetahui selain daripada zat-Nya sendiri. Sebab tidak ada zat lain yang sama
luhurnya dengan zat Tuhan.
Sesuatu yang diketahui Tuhan itu menjadi sebab
untuk adanya pengetahuan Tuhan. Jadi kalau Tuhan mengetahui pula hal-hal yang
kecil-kecil (juzilat/partikular), maka itu berarti bahwa pengetahuan Tuhan itu
disebabkan hal hal yang kurang sempurna daripadaNya. Ini adalah tidak wajar.
Maka sudah seharusnya kalau Tuhan tidak mengetahui selain dari zat-Nya sendiri.
Aristoteles menggambarkan Tuhan sebagai kehidupan yang abadi, sempurna dari
segala jurusan dan sudah puas dengan kesempurnaan zat-Nya sendiri.
Maksud pemikiran Ibnu Rusyd adalah, Tuhan itu
hruslah berupa suatu akal yang tertinggi. Penciptaan haruslah berawal dari akal
pertama, yang memerintahkan akal kedua untuk mencipta, dan seterusnya hingga
akal kesepuluh. Yang dimaksud Tuhan hanya mengetahui secara universal dan tidak
mengetahui masalah juziyat atau hal-hal partikular adalah, bahwa Tuhan itu
adalah yang Maha Tahu. Artinya, haruslah Ia sudah mengetahui segala perincian
dari awal, ketika Ia menciptakan alam. Jadi kalau Tuhan mengetahui hal-hal
partikular, maka Ia tidak layak disebut Tuhan, karena pengetahuan partikular
adalah pengetahuan yang didapat dari proses ‘tidak tahu menjadi tahu’. Kalau
Tuhan itu mengetahui secara partikular, berarti sebelumnya Tuhan ‘tidak mengetahui’
hal partikular tersebut, kemudian setelah hal-hal partikular terjadi, barulah
Tuhan tahu. Jika akal Tuhan bergerak dari ‘tidak tahu menjadi tahu’, maka Ia
tidak layak disebut Tuhan. Menurut Ibnu Rusyd, Tuhan haruslah sudah mengetahui
segala bentuk perincian (yang partikular) dari awal penciptaannya secara
universal.
Ibnu Rusyd menyetujui argumen Aristoteles dan
Ibnu Sina, tetapi Al Ghazali membantah keras argumen tersebut. Ibn Rusyd
menentang Al Ghazali dan tetap membela argumen Aristoteles dan Ibn Sina. Dalam
pembelaannya, Ibnu Rusyd mengatakan bahwa mereka yang mendakwa ahli-ahli
filsafat yang memungkiri pengetahuan terhadap juziyat itu disebabkan karena
mereka tidak dapat memahami maksud dari para ahli filsafat. Maksud para ahli
filsafat tersebut adalah memungkiri pengetahuan Tuhan kepada juziyat
sebagaimana pengetahuan yang dicapai oleh orang-orang biasa. Sebagai penganut
Aristoteles, ia mencari jalan dengan begitu saja meninggalkan pendapat
Aristoteles disamping ia juga tetap tidak mau meninggalkan prinsip-prinsip
agama.
2. Keazalian Alam
Perdebatan mengenai keazalian alam juga sangat
menarik. Ibnu Rusyd berusaha mengemukakan argumennya yang menyikapi pertanyaan
tentang ; Apakah alam ini mempunyai permulaan atau tidak?
Menurud Ibnu Rusyd alam ini adalah azali, tanpa
permulaan. Dengan demikian berarti bahwa bagi Ibnu Rusyd ada dua hal yang
azali, yaitu Tuhan dan alam itu sendiri. Hanya saja bagi Ibnu Rusyd, keazalian
Tuhan itu berbeda dengan keazalian alam. Menurutnya, keazalian Tuhan lebih
utama daripada keazalian alam.
Untuk memperkuat argumennya, ia menyatakan
pembelaannya sebagai berikut : Seandainya alam ini tidak azali, ada
permulaannya, maka alam ini menjadi hadits (baru), mesti ada yang
menjadikannya, dan yang menjadikan alam, haruslah ada yang menjadikan pula.
Demikian berturut-turut tak ada habisnya. Keadaan berantai seperti itu
(tasalsul) dengan tiada berkeputusan akan merupakan hal yang tidak dapat
diterima akal pikiran. Jadi mustahil kalau alam itu hadis (baru).
Karena diantara Tuhan dengan alam ada hubungan,
meskipun tidak sampai pada masalah perincian walhal Tuhan azali, dan Tuhan yang
azali itu tidak akan berhubungan sama, terkecuali dengan yang azali pula, maka
seharusnya alam ini azali, meskipun keazaliannya kurang utama daripada keazalian
Tuhan.
C. Incoherence of the
Philosophers dan Incoherence of The Incoherence
Buku Incoherence of the Philosophers berisi
sangahan Al Ghazali terhadap teori keabadian alam yang dikemukakan oleh filsuf
sebelumnya. Al Ghazali menyanggah 4 poin terhadap filsuf-filsuf.
Poin pertama: Mengenai pernyataan bahwa dunia ini ada
begitu saja.
Melalui pemahaman Aristotelian, setiap perubahan
yang terjadi harus ditentukan oleh suatu sebab yang berada di luar dirinya. Hal
ini tidak hanya berlaku untuk objek-objek fisik, tetapi juga berlaku untuk
keadaan pikiran. Maka, jika Tuhan menginginkan suatu perubahan terjadi, maka
beberapa sebab yang datang dari luar dirinya harus ikut mengatur atau
menuntunnya kearah terwujudnya keputusan itu. Konsekuensinya, dunia harus kekal
karena jika dunia tercipta dari ketiadaan (ex nihilo), muncul pertanyaan
mengapa Tuhan mengizinkan adanya ketiadaan pra-adanya dunia dan mengapa Tuhan
harus menunggu untuk membuat alam semesta. Menurut petunjuk Al Quran, Tuhan
menciptakan segala sesuatu hanya dengan berkata “Jadilah, maka jadilah ia” (QS
Ali Imran ayat 42). Jika Ia menginginkan adanya sesuatu, mengapa ia harus
menunggu padahal Ia memiliki ke-mahakuasaan untuk memenuhi apapun yang ia mau.
Menurut Al Farabi: Jika yang menunda tindak
pelaksanaan suatu perbuatan adalah suatu halangan bagi Tuhan, maka hal tersebut
mengurangi ke-mahakuasaan Tuhan. Hal itu jelas tidak mungkin. Dengan begitu,
Tuhan tidak menunggu untuk membuat alam semesta, yang berarti alam semesta
bersifat kekal.
Para filsuf yang disanggah oleh Al Ghazali
menganut emanasi Plotinos dimana model penciptaan melalui emanasi. Dunia ini
terus-menerus terpancar dari Yang Satu. Maka hal itu akan berarti bahwa
keberadaan sesuatu adalah tidak lebih lambat atau lebih akhir waktunya dari keberadaan
Sang Pelaku (Sang Satu).
Sanggahan Al Ghazali:
Menurut Al Ghazali, teori semacam ini tidak
koheren. Al Ghazali mengikuti teori kausalitas dimana Tuhan sudah merancang
sebab-akibat dari segala sesuatu dan ciptaannya. Tuhan menggunakan tata
aturannya sendiri dan mempunyai tujuan dari segala rancangannya karena
kemauannya (iradat) mutlak. Iradat Tuhan bersifat mutlak dan terlepas dari
ruang dan waktu, namun ciptaan Tuhan (dalam hal ini dunia) dapat ditangkap oleh
akal manusia karena dunia terbatas dalam ruang dan waktu. Tuhan bersifat
transeden, namun kemauan (iradat) Tuhan adalah immanent dan merupakan sebab
hakiki dari segala kejadian.
Poin Kedua:
Hakikat waktu adalah kekal. Berangkat dari
premis-premis Aristoteles, waktu mengandaikan atau sebagai ukuran keberadaan
gerakan atau adanya pergerakan. Dalam pengertiannya, “sekarang” merupakan
perkelanjutan dari masa lalu yang masih terus bergerak. “Sekarang” merupakan
akhir dari masa lalu namun merupakan awal dari masa depan. Maka, tidak mungkin
ada “sekarang” yang pertama tanpa adanya waktu sebelum “sekarang” itu. Juga
tidak ada “sekarang” yang terakhir dengan tidak ada waktu setelah “sekarang”
itu. Dengan demikian, tidak ada awal maupun akhir dari waktu. Karena waktu itu
kekal dan waktu merupakan pengandaian dan ukuran adanya pergerakan. Sedangkan
dunia terus bergerak, maka kesimpulannya adalah dunia itu kekal.
Sanggahan Al Ghazali:
Waktu juga diciptakan dan sebelum itu tidak ada
waktu sama sekali. Tuhan ada lebih dulu sebelum adanya dunia dan waktu dan tanpa
keberadaan dunia dan waktu. Kemudian, Ia ada dan bersamanya ada dunia dan ada
waktu tapi Tuhan terlepas dari dunia dan waktu itu sendiri.
Poin Ketiga:
Tentang Potensialitas. Alam semesta tidak
diciptakan. Pada saat sebelum adanya alam semesta, yang ada hanyalah
kemungkinan bahwa alam semesta itu ada. Dan harus selalu dalam keadaan mungkin
karena sekarang alam semesta itu nyata. Dengan demikian, dunia ini kekal dan
bukannya terbatas.
Sanggahan Al Ghazali:
Argumen ini adalah argumen yang ganjil. Segala
sesuatu yang tidak rusak bersifat abadi karena yang jelas hal-hal seperti itu
tidak akan pernah keluar atau masuk ke dalam wilayah keberadaan. Sesuatu yang
ada itu pasti rusak. Dunia itu mungkin dan dia ada pada satu waktu. Jika dia
ada pada satu waktu, dia harus ada pada setiap waktu sehingga dia tidak akan
punah atau rusak. Ada dugaan tersembunyi (suatu prinsip tersembunyi) yang dalam
argumen seperti itu dapat diterima
Poin Keempat:
Prinsip kelimpahan. Alam semesta sebagai
totalitas yang tidak akan punah karena bagian-bagiannya terus berganti. Materi
membutuhkan materi lain untuk menjadi ada. Perubahan hanya bisa mungkin jika
materi membutuhkan bentuk-bentuk yang berbeda dan dengan demikian sesuatu yang
baru pun timbul.
Sanggahan Al Ghazali:
Jika kemungkinan mengandaikan keberadaan suatu
materi, maka akan menjadi mustahillah untuk dapat memahami sifat-sifat
tertentu, katakanlah sebagai contoh, warna sebagai suatu hal yang munkin ketika
mereka tidak dikaitkan dengan benda.
PENUTUP
Perang wacana antara Al Ghazali dengan Ibnu
Rusyd mencerminkan munculnya pemikiran filosofis yang cukup serius dan
berpengaruh luar biasa terhadap pemahaman manusia mengenai pandangannya
terhadap konsep ketuhanan dan alam semesta, yang sebenarnya jika dikaji lebih
kritis, juga merupakan ‘pukulan telak’ bagi seluruh umat Islam. Umat Islam
dituntut memahami dan meningkatkan kemurnian keimanan, dalam usaha memecahkan
banyaknya misteri kehidupan yang tidak dijelaskan secara gamblang dalam teks Al
Qur’an ataupun Al Hadits.
Keduanya, Al Ghazali dan Ibnu Rusyd adalah para
pemikir cerdas yang bersikap kritis dalam mencari hakikat hidup dan
pengertian-pengertian yang mungkin dapat dipahami oleh akal budi manusia. Hanya saja memang, diantara
keduanya terdapat kontroversi pemahaman. Perbedaan itu adalah berupa cara
mereka memahami hal-hal metafisik untuk mencapai pengertian-pengertian yang
bersifat adikodrati. Maksud Al Ghazali mengkritik pemikiran filsuf-filsuf
sebelumnya adalah demi mempertahankan kemurnian agama Islam. Ia mencoba
menunjukkan pada interpretasi teks dengan pertimbangan yang lebih gamblang.
Artinya, segala informasi yang terkandung dalam teks Al Qur’an itu sudah
sempurna, sudah bisa dipahami sebagai petunjuk hidup, dengan syarat mutlak
harus memiliki keimanan yang paripurna.
Berbeda dengan Al ghazali, Ibnu Rusyd bermaksud
mengadakan kompromi antara filsafat dan agama yang sepintas terlihat saling
berlawanan satu sama lain. Ibnu Rusyd berusaha menjelaskan teori metafisika
spekulatif para filsuf sebelumnya, juga menambahkan argument pribadinya, dalam
menginterpretasi firman Tuhan. Ia mencoba menjelaskan kemungkinan-kemungkinan
tentang sifat-sifat Tuhan dan alam ciptaanya menggunakan akal.
Biarpun diantara keduanya terdapat pertentangan
dalam hal yang paling mendasar mengenai problem ketuhanan dan alam semesta,
namun keduanya sama-sama memberikan kontribusi dan pelajaran berharga yang
mampu diambil hikmahnya oleh manusia, baik sebagai muslim maupun bukan. Sintesa
dari perdebatan mereka mengajarkan pada pentingnya menggunakan akal yang disertai
keimanan yang kuat, dalam memahami masalah-masalah rumit yang metafisis
spekulatif sepertihalnya problem ketuhanan dan alam semesta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar