welcome to my Umpung

silakan di lihat-lihat... yang bermamfaat silakan di ambil, dan yang tidak bermamfaat mohon di tinggal. teurimong gaseh..

Rabu, 25 April 2012

TOKOH DAN PEMIKIRAN TEOLOGI KRISTEN MODERN DI EROPA


A. Pendahuluan
Timbulnya pemikiran teologi modern di Kristen analogi dengan perkembangan pemikiran modern dalam Islam. Masing-masing punya latar belakang atau konteks yang mendasari pemikirannya. Misalnya di Islam ada latar belakang perjumpaan dengan budaya Barat dan situasi intern yang ada pada umat Islam di negara atau daerahnya masing-masing. Di kalangan Kristenpun demikian, pemikiran modernnya berkaitan dengan situasi atau konteks yang terjadi di negara atau daerahnya masing-masing. Pemikiran modernnya masing-masing merupakan jawaban terhadap masalah yang timbul di negara atau daerahnya berkaitan dengan perjumpaan dengan budaya atau situasi intern umatnya.

B. Latar Belakang Timbulnya Teologi Kristen Modern Di Eropa.
Timbulnya pemikiran teologi modern di Eropa tidak lepas dari situasi yang terjadi di Eropa. Situasi tersebut antara lain peristiwa Pencerahan (Aufklarung atau Enlightement) di Eropa pada abad ke-18. Pada peristiwa tersebut terjadi perubahan dramatis dalam kebudayaan Eropa. Di Eropa orang makin percaya pada terang akal dan daya pikir. Akal dipandang sebagai terang yang membimbing manusia. Semua tradisi dalam berbagai bidang kehidupan (termasuk politik dan ilmu pengetahuan) diteliti secara kritis dalam terang akal budi.
Pencerahan ini di samping mempengaruhi politik, ilmu pengetahuan, dan pendidikan, juga mempengaruhi gereja. Semua tuntutan terhadap kekuasaan dikaji dan diteliti dalam terang akal budi. Apa yang sebelumnya diterima sebagai hukum ilahi mulai dipertanyakan. Makin banyak bidang kehidupan yang tidak lagi dikuasai oleh gereja atau didominasi ajaran agama (proses sekularisasi). Ilmu teologi pun dipengaruhi oleh paradigma ini. Dogma-dogma gereja mulai diperiksa secara kritis.
Pada masa Reformasi, tradisi gerejawi akan ditolak jika tidak sesuai dengan Alkitab, sedang pada masa Pencerahan, Alkitablah yang dikaji secara kritis terlepas dari ajaran gerejawi. Kalau pada abad ke-16 tradisi-tradisi Kristen menekankan perbedaan antara satu dengan yang lain, sedang pada abad ke-17 dan seterusnya terutama bagaimana mempertahankan teologi dan iman Kristen umumnya di tengah kecenderungan ilmu pengetahuan yang hanya mengakui otonomi akal. Banyak ahli yang menganut prinsip-prinsip Pencerahan menentang kekuasaan gereja dan iman Kristen berdasarkan wahyu ilahi. Oleh sebab itu dapat dimengerti jika banyak teolog yang menentang sikap dan pandangan tersebut. Meskipun demikian, dapat diakui bahwa periode Pencerahan sangat mempengaruhi metode ilmu teologi hingga kini. Di samping itu penelitian ilmiah obyektif juga makin mempengaruhi dalam studi teologi. Namun metode dan pendekatan ini berkembang dalam konteks kebudayaan tertentu.
Ada suatu kenyataan yang tidak dapat dielakkan, bahwa dalam beberapa fakultas teologi terjadi pergumulan hebat di sekitar pendekatan Pencerahan. Banyak pihak tidak menyetujui pendekatan tersebut dan bertanya: apakah iman bersifat rasional belaka? Jika tidak, bagaimana hal ini dapat dijelaskan? (Drewes, 2007: 53-54).
Di samping Pencerahan, ada hal lain yang mempengaruhi teologi modern Eropa, yaitu peristiwa-peristiwa yang terjadi pada abad ke-20. Beberapa peristiwa tersebut antara lain pecahnya Perang Dunia Pertama pada tahun 1914. Perang Dunia Pertama merupakan pengalaman kolektif bagi manusia Eropa dan Amerika bahwa zaman baru sungguh-sungguh telah mulai. Mereka kehilangan nilai-nilai yang dijunjung tinggi sebelumnya. Kebenaran yang dianggap kebenaran yang tertinggi selama berabad-abad hancur dengan tiba-tiba.
Di samping pengalaman pahit, abad ke-20 juga memperlihatkan beberapa perkembangan yang sangat dahsyat dan luas, yang tidak ada bandingannya dalam seluruh sejarah umat manusia. Hal yang sangat menonjol adalah perkembangan di bidang teknik. Perkembangan dari kapal terbang sampai pesawat ruang angkasa; dari kereta kuda sampai mobil-mobil paling mewah; perkembangan komunikasi sampai kepada transistor dan TV. Demikian juga perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan. Hampir setiap bidang ilmu berkembang dengan dahsyat bila dibandingkan dengan masa-masa sebelumnya. Misalnya dalam bidang ilmu kedokteran, ilmu alam, ilmu hayat, sosiologi, dan seterusnya.
Pada abad ke-20 juga ada pertambahan jumlah penduduk yang sangat besar, kemerdekaan bangsa-bangsa baru atau dengan kata lain akhir dari kolonialisme dan imperialsme abad-abad sebelumnya. Secara singkat dapat dikatakan bahwa pada abad ke-20 ini memperlihatkan beberapa perkembangan yang sangat besar sehingga menggoncangkan struktur, bukan hanya dari salah satu bangsa atau benua tetapi struktur seluruh dunia. Tidak mengherankan bahwa beberapa perkembangan tersebut ikut juga mempengaruhi pemikirn-pemikiran teologi (Oranje, 2004: 10-11).
Pada bab ini tidak semua teolog Eropa yang mensikapi Pencerahan dan abad ke-20 dibahas. Hanya beberapa teolog penting saja yang dibahas, yaitu Friederich Scliermacher, Adolf von Harnack, Rudof Bultmann dan murid-muridnya.

C. Tokoh-tokoh dan Pemikiran Teologianya
1. Friederich Schliermacher (1768-1834)
Friederich Schliermacher lahir di Breslau, di selatan Polandia. Ayahnya seorang pendeta Reformed-calvinisme di Prassian Army (North Germany) yang sangat dipengaruhi Pietisme dari kaum Moravian. Schliermacher mempunyai perjalanan iman yang unik. Ia mengalami depresi setelah meninggalkan kelompok Moravian dan dipengaruhi oleh pemikiran Immanuel Kant (ia bertemu dengan Kant pada tahun 1791 di Koningberg) Adapun pemikiran teologinya antara lain;

a. Doktrin tentang Allah
Pemikiran teologi Schliermacher didasarkan pada persangkaan bahwa antara manusia dengan Allah ada jurang pemisah yang tidak mungkin dijembatani oleh manusia. Manusia yang pembawaannya tidak berbeda dengan binatang tidak mungkin bisa mempunyai pengetahuan (knowledge) mengenai hal-hal yang supranatural. Ia juga percaya bahwa Allah tidak mungkin menjadi Allah yang dikenal manusia bila Allah menyatakan diri-Nya melalui hal-hal yang supranatural, misalnya melalui miracles (keajaiban-keajaiban).
Schliermacher percaya bahwa Allah tidak mungkin dapat dikenal oleh manusia bila kehadiran dan penyataan diri-Nya berada di seberang daya kemampuan pemahaman dan persepsi manusia. Pemikiran ini tampaknya ingin melepaskan sama sekali iman Kristen mengenai supranatural God yang disaksikan Alkitab. Baginya realitas adanya pengetahuan tentang Allah dalam diri manusia terjadi karena knowledge of God itu sendiri menyatu di dalam perkembangan pengetahuan dan pengalaman manusia dengan dunia di luar dirinya. Dengan pemikiran seperti itu ia akhirnya sampai pada konsep Allah yang pantheistik.
Menurut Schliermacher pengalaman dengan Allah selalu ditandai dengan munculnya perasaan kehangatan kasih spontanitas atau tidak dibuat-buat dan keterlibatan pribadi secara penuh. Bagaimana mungkin hal itu dapat dialami manusia? Schliermacher menyatakan bahwa pengalaman agama hanya dapat dialami bila manusia mengasihi sesamanya. Pada saat orang Kristen benar-benar mengasihi sesama manusia, orang Kristen akan merasa bahagia dan saat-saat seperti ini tidak lain adalah moments of encountering with God (saat bertemu dengan Tuhan) yang kalau disadari akan memberikan feeling of absolute dependency (perasaan ketergantungan mutlak kepada yang absolute/ Allah). Menurut pemkalah mungkin ini adalah corak pemikiran keagamaan mistik Kristen dan yang dalam islam disebut dengan aliran Tasawuf.

b. Doktrin tentang Gereja dan Kristus
Gereja bagi Schliermacher hanyalah merupakan wujud dari salah satu agama yang mempunyai keunikan tersendiri, sama seperti agama-agama lain di dunia ini. Keunikan Gereja terletak dalam semangatnya mendemonstrasikan persekutuan dan kesatuan antar anggotanya secara murni. Suatu manifestasi yang hanya terjadi karena gereja merupakan bagian dari agama yang positif (benar).
Pandangan Schleiermacher tentang Kristus adalah sebagai berikut. Kristus aslinya adalah manusia dan seperti semua manusia dalam kebaikan kemanusiaannya, tetapi kemanusiaannya sama sekali super dalam memiliki kesadaran yang jelas terhadap Tuhan (Schleiermacher, 1963: 425).

c. Pandangannya tentang Yesus.
Adapun di dalam bukunya Dar Christliche Gleube (Akidah Kristen) ajaran tentang Yesus dikemukakan secara lebih mendalam dan sistematis. Menurut Schliermacher istilah Yesus digunakan untuk menunjukkan manusia yang pernah hidup di bumi ini, sedang istilah Kristus digunakan untuk menunjukkan Yesus yang sudah “diisi”, yang sudah secara menyeluruh dipenuhi oleh Ketuhanan. Hanya istilah yang kedua ini yang penting untuk kesadaran beriman dan yang akan dibicarakan.
Schliermacher kadang-kadang memberikan gelar Anak Allah kepada Kristus, sebagaimana Injil Yohannes juga memberikan gelar kepadanya Anak Allah. Tetapi menurutnya Anak Allah tidak merupakan wujud yang secara abadi sudah berada di pihak Tuhan. Kristus sebagai Anak Allah baru muncul pada saat manusia yang hidup pada suatu saat tertentu itu (Yesus) dipenuhi oleh Ketuhanan (Steenbrink, 2000: 22-23).

2. Adolf von Harnack (1851-1930)
Adolf Harnack lahir di Dorpat (kini Estonia) pada tahun 1851. Ia anak seorang professor teologi Jerman. Ia mengikuti jejak ayahnya dan menjadi professor di Leipzig (1876), Giessen (1879), Marburg (1886) dan akhirnya di Berlin (1888-1921). Sedangkan pemikiran teologinya:
a. Pengertian Yesus sebagai Anak Allah
Dalam hal ini Adolf von Harnack menegaskan bahwa ia tidak akan menyelidiki bagaimana pendapat murid-murid Yesus dan perkembangan gereja kemudian, tetapi bagaimana rasa-diri Yesus sendiri.
Yesus menggambarkan Bapanya lebih besar dari pada dia sendiri. Yesus berdoa kepada-Nya antara lain dengan doa Bapa kami, dan menyerahkan diri kepada-Nya sebelum penyaliban: “Bapa, katanya, kalau boleh, jauhkanlah dari saya penderitaan yang harus saya alami ini. Tetapi jangan menurut kemauan saya, melainkan menurut kemauan Bapa saja.” (Lukas 22, 42). Di dalam perasaan, doa, dan penderitaan ini, Yesus menyamakan diri dengan manusia lain.
Yesus menggambarkan Bapanya lebih besar dari pada dia sendiri. Dalam perasaan, doa, dan penderitaan ini, Yesus menyamakan diri dengan manusia lain.
Istilah Anak Allah, di dalam dunia Yahudi, memang mempunyai pengertian sebagai mahdi atau ‘ratu adil’, yaitu juru selamat yang akan datang menjelang hari kiamat. Dunia Yahudi pada zaman itu mempunyai banyak gelar untuk tokoh ini, antara lain Messias, Nabi Elia, Anak Manusia, Anak Daud. Sebenarnya Yesus tidak memakai gelar Anak Allah dalam arti yang biasa berlaku pada saat itu, yaitu dalam pengertian eschatologis, tetapi dia hanya memakai gelar ini untuk menunjuk hubungan dia (dan manusia lain) dengan Allah Bapanya. “ . . . Tidak seorang pun mengenal anak selain Bapa. Tidak ada juga yang mengenal Bapa, selain anak dan orang-orang kepada siapa anak itu memperkenalkan Bapa” (Matius. 11, 27).
Jadi, pengetahuan tentang Allah adalah unsur yang menentukan pengertian istilah Anak Allah. Kalau Yesus mempunyai kesadaran, bahwa dia adalah anak Allah, hal itu tidak penting untuk mengenal Yesus, tetapi khusus memberikan informasi tentang Allah sebagai Bapa.

b. Pengertian tentang Hari Kiamat
Yesus dan dunia sekitarnya pada saat itu mempunyai banyak fikiran tentang juru selamat yang akan datang menjelang hari kiamat. Ada yang mengharapkan Nabi Musa atau Elia. Lainnya berpendapat Yohannes Pembaptis akan datang kembali. Ada juga yang berpendapat bahwa Yesus merupakan reinkarnasi mereka.
Di dalam Markus 8, 27-31 disebutkan:
Yesus dan pengikut-pengikutnya pergi ke desa-desa di sekitar Kaisarea Filipi. Di tengah jalan Yesus bertanya kepada mereka: ‘Menurut kata orang, siapakah saya ini?’ Mereka menjawab: ‘Ada yang berkata: Yohannes Pembaptis; ada juga yang berkata Elia, dan yang lain berkata: salah seorang nabi.’ Tetapi menurut kalian sendiri, saya ini siapa? Tanya Yesus. Petrus menjawab: ‘Bapak adalah Raja Penyelamat/ Mesias!, Lalu Yesus memperingatkan mereka, supaya tidak memberitahukan kepada siapapun tentang dirinya. Setelah itu Yesus mulai mengajar pengikut-pengikutnya, bahwa Anak Manusia mesti menderita banyak, dan akan ditentang oleh pemimpin-pemimpin, imam-imam kepala dan guru-guru agama.

Dalam hal ini von Harnack menekankan bahwa pikiran tentang messias dan lain-lain mempunyai variasi. Ada yang sangat bercorak politik, yaitu dengan pengharapan seseorang yang datang dari langit, lengkap dengan tentara malaikat dan senjata yang paling hebat, sehingga bangsa dan tentara Romawi cepat dihancurkan dan kerajaan Yahudi seperti di bawah raja Daud dapat ditegakkan kembali. Golongan ini menerapkan gelar Anak Daud bagi Yesus. Sebaliknya ada juga yang berpendapat, bahwa kedatangan kerajaan Ilahi tidak akan terjadi begitu spektakuler. Golongan ini berpendapat bahwa Messias adalah tokoh agama dan bukan tokoh politik. Messias sebenarnya hanyalah seorang guru yang menunjukkan jalan untuk menemui Tuhan di dalam hati nurani dan keyakinan manusia.

c. Perbedaan antara Yesus dan Paulus
1. Yesus mengajarkan tentang kerajaan Ilahi yang akan datang, sedang Paulus mengajarkan tentang keselamatan yang sudah jadi dan sudah bisa dinikmati.
2. Sikap terhadap Taurat Nabi Musa
Yesus menekankan agar manusia hidup menurut jiwa atau maksud dari Taurat. Mengenai dirinya sendiri Yesus mengatakan:
”Janganlah menganggap bahwa saya ini datang untuk menghapuskan hukum-hukum yang diberikan Musa dan ajaran nabi-nabi. Saya datang bukan untuk menghapuskannya, tetapi untuk menunjukkan arti yang sesungguhnya. Ingatlah! Selama langit dan bumi masih ada, satu huruf atau titik yang terkecil pun di dalam hukum-hukum ini, tidak akan dihapuskan . . .(Matius 5, 17-18).
Berbeda dengan Yesus, Paulus menjelaskan bahwa sesudah Yesus, Taurat Nabi Musa tidak diperlukan lagi, sehingga orang-orang Yunani yang mau masuk Kristen, tidak wajib disunatkan atau mengikuti peraturan Yahudi atau Taurat Nabi Musa. Menurut von Harnack perbedaan ini tidak begitu penting, sebab Yesus memberikan inti ajarannya, sedang kulit atau konsekuensinya (seperti, bahwa sebenarnya Taurat Musa tidak berlaku lagi) boleh saja diambil oleh Paulus.
3. Pandangan Kristen terhadap orang di luar bangsa Yahudi
Yesus sebenarnya tidak akan mendirikan agama atau syariat baru. Dia hanya merupakan gerakan reformisme di dalam agama Yahudi. Agama Yahudi menganggap dirinya agama yang secara otomatis dapat disamakan dengan suatu bangsa, yaitu bangsa Yahudi, rakyat pilihan Tuhan.
Sedangkan Paulus mengabarkan Injil Yesus kepada orang-orang Yunani dan Romawi. Menurut Paulus “tidak ada bedanya antara orang Yahudi dengan orang-orang bangsa lain. Allah yang satu itu adalah Tuhan untuk semua orang. Ia memberikan berlimpah-limpah kepada semua orang yang meminta tolong kepadanya . . . “(Roma 10, 12).
Menurut Adolf von Harnack perbedaan ini tidak begitu penting, di mana Paulus mengambil konsekuensi terakhir dari inti ajaran Yesus (Steenbrink, 2000: 30-36).

3. Rudolf Bultmann
Rudolf Bultman lahir pada tahun 1884 di Jerman, dari keluarga pendeta Lutheran (German Evangelical Church). Ia belajar teologi di Universitas Tubingen, kemudian di Berlin, dan terakhir di Universitas Marburg. Di Universitas Marburg dia belajar di bawah bimbingan Wilhelm Herman yang teologinya menjadi dasar dari seluruh pemikiran teologi Bultmann. Ia memilih bidang Perjanjian Baru karena terpengaruh oleh Johannes Weiss yang juga berasal dari Universitas Marburg. Adapun pemikiran teologinya
Pandangannya tentang Entmythologisierung (Demythologizing atau Demitologisasi). Demythologizing menurut Bultmann merupakan metode hermeneutik yang berusaha menyingkapkan rahasia di belakang mitos-mitos yang digunakan di dalam Perjanjian Baru (Bultmann, 1958: 18). Hal ini dilakukan untuk dapat memberikan suatu pemahaman pada pikiran manusia pada abad duapuluh yang tidak lagi berpikir dalam konsep-konsep mitos (Bultmann, 1958: 36).
Adapun pandangan Bultmann tentang demitologisasi (Demytologizing atau Entmythologisierung) adalah sebagai berikut:
a. Pusat dari konsep demitologisasi adalah pendirian Bultmann yang menemukan dua hal di dalam Perjanjian Baru, yaitu: 1) Injil Kristen, dan 2) pandangan orang pada abad pertama yang bercirikan mitos. Hakekat Injil, oleh Bultmann disebut dengan kerugma (Yunani = isi yang dikhotbahkan), merupakan inti yang tidak dapat dipersempit lagi.
b. Menurut Bultmann, mitos merupakan cerita yang tidak membedakan fakta dari yang bukan fakta dalam isinya, dan yang berasal dari suatu jaman pra-ilmiah. Tujuan mitos adalah untuk menyatakan pengertian manusia tentang dirinya sendiri, bukan untuk menyajikan gambaran obyektif tentang dunia. Mitos menggunakan perumpamaan dan istilah-istilah yang diambil dari dunia ini untuk menyatakan keyakinan-keyakinan tentang pengertian manusia akan dirinya sendiri.
c. Menurut Bultmann perubahan dunia yang bersifat mitos tersebut juga telah digunakan untuk merubah Yesus. Pribadi Yesus yang ada di dalam sejarah diubah menjadi suatu mitos dalam kekristenan yang mula-mula. Oleh karena itu Bultman menyatakan bahwa pengenalan historis tentang manusia Yesus tidak relevan lagi untuk iman Kristen. Menurut Bultmann semua penyajian tentang Yesus dalam Perjanjian Baru bukanlah sejarah melainkan hanya mitos, yaitu pemikiran dari orang-orang yang menciptakan mitos-mitos tersebut untuk mengerti diri sendiri dengan lebih baik Proses penyingkapan ini disebut demitologisasi.
d. Proses ini, menurut Bultman, bukan berarti menyangkal mitologinya. Demitologisasi ini berarti penafsiran secara eksistensial, yaitu menurut pengertian manusia terhadap keberadaannya sendiri, dan dengan istilah-istilah yang dapat dipahami oleh orang modern sendiri. Bultman melakukan proses ini dengan menggunakan konsep-konsep eksistensialis Jerman, Martin Heidegger. Contohnya, yang disebut mitos mengenai kelahiran Kristus dari anak dara dikatakan sebagai suatu usaha untuk menjelaskan arti Yesus bagi orang beriman. Mereka mengatakan bahwa Kristus datang kepada manusia sebagai tindakan Allah. Salib Kristus tidak mempunyai arti yang menunjukkan Yesus menanggung dosa bagi orang lain. Hal itu hanya mempunyai pengertian sebagai suatu symbol dari manusia yang mengambil suatu hidup yang baru, yaitu menyerahkan semua rasa aman duniawi untuk mendapatkan suatu hidup baru yang bergantung pada yang transenden.
e. Dalam konsep demitologisasi ini Bultmann membantu mengingatkan kaum Kristen tentang pentingnya memahami orang modern, pendengar khotbahnya. Ia juga mengingatkan bahwa kepentingan orang Kristen tidak hanya memberitakan Injil tetapi juga menerapkannya dengan tepat dan teliti pada pendengar (Conn, 1988: 49-52).
Sedangkan pemikiran Rudolf Bultman tentang pandangan terhadap Allah. Allah memperlihatkan kepada orang yang percaya selalu sebagai yang tak dikenal, dalam hubungan jarak dan ketegangan. Allah paling baik diidentifikasikan sebagai Wholly Other (Bultmann, 1963: 234). Jadi menurutnya, secara eksistensial ada jurang yang memisahkan secara mutlak antara Allah dengan manusia. Allah yang hidup selalu berada di luar penangkapan persepsi dan akal manusia.
Dengan pemahaman Allah seperti ini Bultmann punya corak Pantheistik. Menurut dia Allah hadir dalam segala sesuatu, tetapi berada di luar daya persepsi manusia. Allah tidak dapat dikekang dengan rumusan-rumusan doktrin para teolog ataupun gereja. Manusia yang terbatas tidak dapat merumuskan Allah yang tidak terbatas.

4. Pengikut-pengikut Rudolf Bultmann: Ernst Kasemann, Ernst Fuchs, Gerhard Ebeling, dan Herbert Braun.
Pemikiran-pemikiran Rudolf Bultmann sangat mempengaruhi banyak teolog, khususnya para ahli Perjanjian Baru. Meskipun demikian hampir setiap teolog menyimpang sedikit atau banyak dari pandangan Bultman dan menempuh jalannya sendiri-sendiri. Maka terjadilah diskusi yang sangat hebat dalam teologi modern, khususnya sekitar pokok yang disebut Yesus yang historis.
Maksudnya salah satu akibat dari pandangan-pandangan Bultmann tentang hidup historis dari Yesus, yaitu peristiwa-peristiwa dan isi hidupnya di dalam sejarah, tidak begitu penting. Bagi Bultmann, yang paling penting dalam hidup Yesus adalah kayu salib. Sudah barang tentu Yesus disalibkan dalam sejarah. Akan tetapi selain itu yang penting bagi kita sekarang bukan kehidupan-Nya, tetapi khususnya bahwa Yesus telah hidup. Sebab menurut Bultmann, kita melihat Yesus hanya dengan mata jemaat pertama setelah Paskah, dengan kata lain dengan mata kepercayaan. Kita tidak mempunyai pegangan historis lain kecuali bahwa Yesus pernah ada. Bultmann memang tidak menghendaki pegangan yang historis itu. Sebab yang pokok baginya adalah keputusan eksistensial dan keputusan tersebut tidak pernah mempunyai alasannya se dalam-dalamnya dalam sejarah. Alasannya terletak di dalam eksistensi manusia. Oleh sebab itu Bultmann secara prinsip menolak setiap pegangan historis sebagai alasan untuk kepercayaan.
Sebaliknya pengikut-pengikut Bultmann kembali lagi menaruh perhatian kepada Yesus sebagaiamana dia telah hidup dan ada, berbicara, ringkasnya Yesus sebagaimana ia berada di dalam sejarah. Sebabnya bukan karena mereka berpendapat bahwa untuk percaya orang Kristen membutuhkan alasan di dalam sejarah. Dalam hal ini mereka sependapat dengan Bultmann, dan sama dipengaruhi oleh oleh filsafat eksistensialisme.
Bagi pengikut-pengikut Bultmann, sebab-sebab untuk lebih memperhatikan sejarah terletak di dalam kerugma, pemberitaan itu sendiri. Karena Injil merupakan suatu cerita, suatu sejarah, maka Injil menceritakan tentang Yesus, Israel, Allah. Menurut pandangan mereka perlu dipertahankan sifat cerita agar supaya kerugma Kristen tetap kerugma atau pemberitaan. Kita tidak dapat semata-mata memperhatikan kenyataan bahwa Yesus ada tanpa menyoroti kehidupan Yesus yang lainnya, sebagaimana yang diperlakukan oleh Bultmann. Itu semua menjadi latar belakang dari The New Quest for the Historical Jesus, judul sebuah buku tentang usaha para teolog tersebut yang ditulis oleh seorang teolog Amerika yang bernama J.M. Robinson.
Meskipun para pengikut Bultmann sama-sama menaruh perhatian kepada Yesus yang historis, berbeda dengan Bultmann, masing-masing menempuh jalannya sendiri-sendiri (Oranje, 2004: 20-22)

2 komentar: